Jumat, 02 Januari 2009

Surau

Suatu bangunan kecil tempat shalat yang dipergunakan juga sebagai tempat mengaji Alquran bagi anak-anak dan tempat belajar agama bagi orang dewasa. Kata surau berasal dari istilah Melayu Indonesia dan penggunaannya meluas di Asia Tenggara. Pengertian surau ini dalam penggunaannya hampir sama dengan istilah langgar atau musala.

Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau di tempat lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, dipergunakan untuk penyembahan arwah nenek moyang. Dalam sejarah Minangkabau, diduga bahwa surau itu didirikan pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau tersebut, di samping berfungsi sebagai tempat berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta ketrampilan dan tempat berkumpulnya para lelaki dewasa.
Dengan datangnya Islam ke Sumatera Barat, surau juga mengalami proses islamisasi, walaupun sisa-sisa kesakralan surau di sana masih terlihat jelas, seperti adanya puncak (gonjong) yang merefleksikan kepercayaan mistis dan sekaligus sebagai simbol adat. Namun fungsi surau di sana tetaplah sama hanya saja fungsi keagamaannya menjadi semakin penting.
Di samping dipergunakan sebagai tempat ibadah, surau juga menjadi lembaga pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau di Minangkabau lebih menyerupai pesantren di Pulau Jawa atau pondok di Malaysia. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 setelah dia kembali dari belajar agama dari Syekh Abdul Rauf Singkel, seorang ulama besar Aceh.

Pada umumnya, surau dalam pengertian pesantren di Sumatera Barat dimiliki dan dikelola oleh syekh secara turun temurun. Surau-surau tersebut biasanya mempunyai banyak bangunan. Bahkan surau besar bisa mempunyai bangunan sampai dua puluh buah atau lebih. Ada bangunan utama, bangunan untuk tamu, tempat suluk, tempat tinggal para murid serta tempat tinggal syekh. Sedangkan penyelenggaraan pendidikannya biasanya tidak mempunyai tingkatan kelas, walau terkadang ada semacam pembagian kelompok murid. Pengelompokannya biasanya berdasarkan kelompok ilmu yang dipelajari oleh murid. Metode pengajaran yang dipakai adalah ceramah, pembacaan dan hafalan yang biasanya dikenal dengan nama halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru). Bahkan ada surau-surau yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu tertentu saja, seperti bahasa Arab, ilmu fikih, ilmu mantik dan sebagainya.

Pada dasawarsa kedua abad 20, setelah kelompok Muslim modernis mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal ala Belanda dan juga bentuk madrasah, popularitas surau di kalangan masyarakat Sumatera Barat mulai menurun. Sebenarnya peranan surau sebagai lembaga pendidikan mulai disaingi, sejak pertengahan abad 19, saat pemerintah Belanda mendirikan sekolah di kota-kota yang merupakan benteng-benteng. Sejak tahun 1933 jumlah surau di Sumatera Barat terus menurun. Adapun setelah zaman kemerdekaan, hanya beberapa surau dengan sistem pesantren saja yang masih bertahan.

Tidak ada komentar: