Senin, 22 Desember 2008

Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Dan Pengamalan Islam Di Minangkabau

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat lebih bergengsi.

Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah adalah satu dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.

Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh.

Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.

Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).

Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).

Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.

Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.

Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga "kafir", adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.

Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.

Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.

Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.

Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933).

Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.

Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.

Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.

Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu.

Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.

Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.

Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.

Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947). Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendatangi teman-temannya dalam kehidupan parewa yang mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah
surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah(1908). Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.

Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.

Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah.

Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah.

Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah.

Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap, automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu ternyata gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan persaudaraan yang ikhlas dan hakiki.

Rupanya, soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Secanggih-canggih kamera atau seaik-baik alat pemotret, niscaya tidak bisa memproduksi gambar seseorang yang tidak ada.

Alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.

Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan rasa manusia tidak bertambah pendek lantarannya.

Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa gua, semakin merajalela.

Inilah problematika dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad ini.

Ini juga problematika yang dihadapi manusia Umat Islam khususnya.

Persoalan ukhuwwah Islamiyah ini wajib kita memecahkannya dengan sungguh-sungguh, kalau benar-benar kita hendak menegakkan Islam dengan segala kejumbangannya kembali di negara ini.

Para pembaru di Sumatera Barat, memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat Inyik Djambek contohnya, mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak.

Perhatiannya lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1908 ia mendirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama Surau inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam.

Bagi Umat Islam soal ini hanya dapat dipecahkan oleh Umat Islam sendiri, tidak boleh orang lain. Dan jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah Umat Islam sendiri, terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.

Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.

Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda.

Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh, guna mengikat tali pergaulan atau ukhuwwah Islamiyah.

Menegakkan dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyah tidaklah sangat bergantung kepada alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun. Malah dikalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa "suasana ukhuwwah" lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.

Dan ...., sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan bermacam-macam organisasi, dengan anggaran dasar dan kartu anggota, dan sekiranya, dengan semboyan-semboyan dan poster-posternya, semestinya ukhuwwah sudah lama tegak merata diseluruh negeri ini.

Sekiranya ukhuwwah Islamiyah dapat diciptakan dengan sekedar anjuran-anjuran lisan dan tulisan, semestinya sudah lama ukhuwwah Islamiyah itu hidup subur dikalangan Umat Islam, dan umat itu sudah lama kuat dan tegak.

Sebab sudah cukup banyak anjuran lisan dan tulisan yang dituangkan kepada masyarakat selama ini, ayat dan hadist mengenai ukhuwwah, disampaikan. Sudah berkodi-kodi kertas, di lemparkan ke tengah masyarakat melalui majalah-majalah, dengan buku-buku dan surat-surat kabar Serta, sudah banyak pula yang hafal, dikunyah-kunyah dan dimamah oleh orang banyak.

Kalau ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga, itu tandanya pekerjaan kita belum selesai. Dan kalau usaha-usaha selama ini belum berhasil dengan memuaskan, itu tandanya masih ada yang ketinggalan, belum dikerjakan.

Rupanya soal ukhuwwah dan persaudaraan ini soal hati, yang hanya dapat dipanggil dengan hati pula. Sedangkan yang sudah terpanggil sampai saat sekarang barulah telinga dan dengan kata. Oleh karena, pihak pemanggil yang bisa berbicara barulah lidah dan penanya, belum lagi hati dan jiwanya. Karena itu, pengamalannya kurang tampak menjadi minat orang banyak.

Rupanya dan memang terbukti rahasianya menegakkan ukhuwwah dan pergaulan Islamiyah terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil dalam pergaulan sehari-hari, seperti yang ditekankan benar oleh Rasulullah SAW dalam membina jamaah dan umat Islam.

Secara substansi, Rasul SAW menyerukan pelajaran dari yang kecil-kecil, karena secara sosil filosofis masyarakat lebih bergairah menghadapi yang besar-besar, sehingga yang kecil-kecil terabaikan. Padahal, yang kecil-kecil itu, menjadi amalan dasar untuk memudahkan menghadapi kerja besar.

Umpamanya, amalan kecil yang mesti dibiasakan itu, antara lain yang pertama-tama, tegur sapa, memberi salam, dan menjawab salam, mengunjungi orang sakit yang sedang menderita, mengantarkan jenazah ke kubur, memperhatikan kehidupan sejawat, membujuk hati yang masygul, membuka pintu rezeki bagi mereka yang terpelanting.

Bahkan, membukakan pintu rumah dan pintu hati kepada para dhu'afa, dan amal-amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh rasa persaudaraan.

Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah kebebasan yang dimiliki memilih alternatif? Persoalan politik dan kemudian menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas.

Sedangkan selama ini, kita lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif, dengan berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak. Membangun kembali ukhuwwah atau pergaulan dan persaudaraan yang Islami memerlukan peninjauan dan penilaian kembali akan cara-cara yang sudah ditempuh sekarang.

Memerlukan daya cipta dari pada pemimpin yang dapat berijtihad,

Memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai,

Bersedia meniadakan diri. G

Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya. Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda. Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip
Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab, digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi ilmu. Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami

Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.

Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu.

Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisi tersebut.

Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama
Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.

Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.

1.Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat perbedaan pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira Nazwar, Pustaka Panjimas, Jakarta, Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Dua Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center Suimatera Barat, 1981,hal.55, dicatata tanggal dan tahun kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279 H./1862 M Sebenarnya yang tepat adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip Ensiklopedi Islam Indonesia (EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi, hal.520-521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860, dan meninggal 30 Desember 1947/18 Sfafar 1366 H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.

2.Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38

3.Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.

4.Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945

5.Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah

Minggu, 07 Desember 2008

Busana Perempuan Minang Dalam Kebenaran Islam

Perempuan (Kawi) menyimpan arti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat keutamaan yang lain (lihat:KUBI).[1] Alquran menyebut perempuan dengan Annisa’ atau Ummahat sama dengan ibu, atau “Ikutan Bagi Umat” dan tiang suatu negeri.[2] Sunnah Nabi menyebutkan khair mata’iha al mar’ah shalihah artinya perhiasan paling indah adalah perempuan saleh (artinya perempuan yang tetap pada peran dan konsekwen dengan citranya). Tafsir Islam tentang kedudukan perempuan menjadi konsep utama keyakinan Muslim bermu’amalah. Alquran mendudukkan perempuan pada derajat sama dengan jenis laki‑laki di posisi azwajan atau pasangan hidup (lihat Q.S.16:72, 30:21, 42:11).

Budaya Minangkabau dalam adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menempatkan perempuan pada posisi peran. Kadangkala dijuluki dengan sebutan;

orang rumah (hiduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik dirumah gadang, kuburan mati ditangah padang),

induak bareh (nan lamah di tueh, nan condong di tungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang),

pemimpin (tahu di mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai),

Pemahamannya berarti perempuan Minang sangat arif, mengerti dan tahu dengan yang pantas dan patut, menjadi asas utama kepemipinan ditengah masyarakat. Anak Minangkabau memanggil ibunya dengan bundo karena perempuan Minangkabau umumnya menjaga martabat,

  1. Hati-hati (watak Islam khauf), ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan kasumbiang,
  2. Yakin kepada Allah (iman bertauhid), jantaruah bak katidiang, jan baserak bak amjalai, kok ado rundiang ba nan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahie di danga urang.
  3. Perangai berpatutan (uswah istiqamah), maha tak dapek di bali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham ka tagadai, takuik di budi katajua,
  4. Kaya hati (Ghinaun nafs), sopan santun hemat dan khidmat,
  5. Tabah (redha), haniang ulu bicaro, naniang saribu aka, dek saba bana mandatang,
  6. Jimek (hemat tidak mubazir), dikana labo jo rugi, dalam awal akia membayang, ingek di paham katagadai, ingek di budi katajua, mamakai malu dengan sopan.

Dalam ungkapan sehari-hari, perempuan Minang disebut pula padusi artinya padu isi dengan lima sifat utama; (a). benar, (b).jujur lahir batin, (c). cerdik pandai, (d). fasih mendidik dan terdidik, (e). bersifat malu (Rarak Kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek. Selanjutnya anak urang Koto Hilalang, Handak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso), artinya didalam kebenaran Islam, al hayak nisful iman = malu adalah paruhan dari Iman.

Falsafah hidup beradat mendudukkan perempuan Minang pada sebutan bundo kandung menjadi limpapeh rumah nan gadang, umbun puro pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian, hiasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari, nan gadang basa batauah, kok hiduik tampek ba nasa, kalau mati tampek ba niaik, ka unduang-unduang ka madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Ungkapan ini sesungguhnya amat jelas mendudukkan betapa kokohnya perempuan Minang pada posisi sentral, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaum, dan kalangan awam di nagari dan taratak menggelarinya dengan “biaiy, mandeh”, menempatkan laki-laki pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan-nya dan anak turunannya. Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab ayah (laki-laki), bersuku ibu (perempuan), bergelar mamak (garis matrilineal), memperlihatkan egaliternya suatu persenyawaan budaya dan syarak yang indah.(2)

Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna ‘alan‑nisaa’), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa’ 34). Wanita dibina menjadi mar’ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria (hangat/warm) dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan “indahnya wanita shaleh” (Al Hadist).

Kodrat wanita memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama, menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat). Dibawah naungan konsep Islam, perempuan berkepribadian sempurna, bergaul ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, lembut dan lindung, berkehormatan, berpadu hak dan kewajiban. Terpatri pada tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya, inilah kata yang lebih tepat untuk azwajan itu.[3]

Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi Ikutan Bagi Umat. Masyarakat baik lahir dari relasi kemasyarakatan pemelihara tetangga, perekat silaturrahim dan tumbuh dengan pribadi kokoh (exist), karakter teguh (istiqamah, konsisten) dan tegar (shabar, optimis) menapak hidup. Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) dibimbing keyakinan hidayah iman. Jasmaninya (gerak, amal perbuatan) dibina oleh aturan syari’at Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ِأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهَِ

“Allah telah menyari’atkan dasar hidup “ad-din” bagi kamu seperti telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan telah dipesankan kepadamu (Muhammad). Agama yang telah dipesankan kepada Ibrahim, Musa, Isa dengan perintah agar kalian semua mendaulatkan agama ini dan jangan kalian berpecah dari mengikutinya…” (QS.Syura : 13).

Perilaku kehidupan menurut mabda’ (konsep) Alquran, bahwa makhluk diciptakan dalam rangka pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat : 56), memberi warning peringatan agar tidak terperangkap kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah makhluk pelupa (Al Hadist).[4] Tegasnya, seorang Muslim wajib menda’wahkan Islam, menerapkan amar ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali ‘Imran :104), dimulai dari diri sendiri, agar terhindar dari celaan (QS. Al Baqarah :44 dan QS. Ash‑Shaf :3). Amar ma’ruf nahi munkar adalah tiang kemashlahatan hidup umat manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali ‘Imran :110) agar tercipta satu bangunan umat yang berkualitas (khaira ummah). Maka posisi perempuan didalam Islam ada dalam bingkai (frame) ini.

Busana Adalah Pelindung Dan Sarana Pendidikan Utama

Perubahan zaman disertai penetrasi budaya seringkali menampilkan ketimpangan didalam meraih kesempatan yang sangat menyolok pada fasilitas pendidikan, lapangan kerja, hiburan, penyiaran mass‑media, antara di kota dan kampung, akhirnya mengganggu pertumbuhan masyarakat. Apabila kearifan dan keseimbangan peranan memelihara budaya dan generasi tercerabut pula, maka tidak dapat tidak akan ikut menyum­bang lahirnya “Generasi Rapuh Budaya”.[5]

Generasi berbudaya memiliki prinsip teguh, elastis dan toleran bergaul, lemah lembut bertutur kata, tegas dan keras melawan kejahatan, kokoh menghadapi setiap percabaran budaya, tegar menghadapi percaturan kehidupan, sanggup menghindari ekses buruk, membuat lingkungan sehat, bijak menata pergaulan baik, penuh kenyamanan, tahu diri, hemat, dan tidak malas, akan terbentuk dengan keteladanan. Konsepsi Rasulullah SAW;”Jauhilah hidup ber-senang-senang (foya-foya), karena hamba-hamba Allah bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah (malas dan lalai)” (HR.Ahmad). Tidak dapat dimungkiri bahwa kaum perempuan harus memaksimalkan perannya menjadi pendidik di tengah bangsa menampilkan citra perempuan mandiri, memastikan terpenuhi hak dan terlaksananya kewajiban, salah satunya melalui cara berbusana.

Dari pandangan agama Islam ini, bisa disimpulkan bahwa yang tidak mau mengindahkan hak-hak perempuan, sebenarnya adalah mereka yang tidak beriman atau kurang mengamalkan ajaran agama Islam. Di Minangkabau perempuan berada pada lini materilineal akan hilang marwahnya tersebab menipisnya kepatuhan orang beradat, karena hakikat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah adalah aplikatif, bukan simbolis.

Hebatnya Wanita Minang

Saya katakan hebat, wanita minang sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1960 an bisa mengurus anak –anak yang jarang sekali didampingi suami dan banyak dari mereka yang berhasil anak-anaknya. Kenapa demikian ?.

Laki-laki minang pada waktu itu apabila punya posisi <> atau sebagai pengusaha yang berhasil mereka rata-rata punya istri lebih dari 1 , kalau hanya punya satu maka mamak-mamaknya akan mencarikan lagi istri dengan alasan “ alah tinggi pangkek kok ciek se bini indak laku ang”.maka kawinlah sibapak tadi sampai dua <2> atau tiga <3> bahkan seterusnya, sehingga lalai ikut membesarkan anak-anak yang dilahirkan.

Siapakah yang mengurus anak-anak tadi tentu saja si ibu dengan segala cara.

Hal ini banyak terjadi pada waktu itu. Si Wanita minang ini walaupun sering ditinggal suami dengan menggilir istri-istri yang lain, tetap menyambut hangat suaminya apabila datang, begitu cara mereka menghormati / menghargai bapak dari anak-anak mereka .

Ibu-ibu ini bisa menekan batin mereka untuk tidak ditampakkan keluar, terutama didepan anak-anak.

Wanita-wanita minang umumnya yang saya tau sangat trampil dalam bidang memasak, menjahit, menyulam ataupun menenun, dan dengan cara ini mereka mencoba mencukupi nafkah yang kurang.

Wanita-wanita minang zaman sekarang banyak yang berkarir, tetapi tetap tidak melupakan tanggungjawab rumahtangganya, serta membimbing anak-anaknya, bedanya zaman sekarang ada kerja sama dengan suami. Suami zaman sekarang punya istri cukup satu, indak talok labiah dari ciek, untuk bisa menghidupi keluarga dengan satu istri saja sudah bersyukur ALHAMDULILLAH. Berbeda dengan zaman sebelum kemerdekaan, dimana pada waktu itu mamak-mamak masih dominan membantu keluarga. Sedangkan masa sekarang peran mamak tidak seperti dulu, bapak lebih berperan dalam menghidupi masing-masing keluarga.

Saya tidak menulis kehebatan wanita minang dibidang karir yang memang sudah nyata banyak sekali yang hebat-hebat.

Saya ingin mengatakan hebatnya wanita minang menguasai diri pada waktu itu dalam mengurus anak-anaknya tanpa tuntutan yang berlebihan kepada fihak suami.

Demikian hebatnya wanita minang sebagai BUNDO KANDUNG, sebagai IBU yang selalu dibanggakan oleh anak-anaknya.

Jumat, 28 November 2008

Posisi Dan Peranan Bapak Sebagai Kepala Keluarga Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau

Landasan pokok adat budaya Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, bermakna ada landasan budaya yang kuat, bersendi kepada agama (syara’). Maka, dalam diri orang Minang menyatu kedua nilai hakiki, adat dan syarak. Setiap orang Minang dituntut memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut dengan mentaati ajaran-ajaran agama Islam.
Pengamalan secara utuh dari adat, agama dan undang-undang, berpengaruh terhadap tatanan sosial. Tanpa ketiganya, kekacauan, keserakahan, kekerasan dan kejahatan dengan mudah akan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.
Seorang Minangkabau mesti beradat, berbudi dan beragama Islam. Ketika konsep adat budaya Minangkabau yang religius ini diamalkan dengan sesungguhnya, maka “ranah Minang” adalah nagari aman, damai, sejahtera lahir dan batin.

Minangkabau masa dahulu bisa dikatakan sangat teratur. Masuknya agama Islam ke ranah Minangkabau, tatanan adat istiadat disempurnakan dengan ajaran agama melalui penyesuaian-penyesuaian. Hal-hal yang bertentangan dengan Islam, dihapus dan tidak berlaku lagi. Dari sini lahir " adaik manurun agamo mandaki " dan "syarak mangato, adaik mamakaikan".
Secara fisik, ungkapan itu adalah adat berasal dari daerah daratan, kemudian menyebar ke kawasan pesisir. Sementara agama berasal dari pesisir dan dikembangkan kedaratan dan pedalaman Minangkabau.
Secara esensial, bahwa masyarakat Minangkabau rela menerima peran adat yang selalu menurun dan berkurang, sementara agama kian hari semakin dominan. Karena itu, berlaku kaidah ”adaik dipakai baru, kain dipakai usang”, satu kearifan adanya penjagaan nilai-nilai disetiap pergantian zaman dan musim.
Dalam masyarakat Indonesia ada struktur kemasyarakatan :

  1. Berdasarkan Matrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ibu, seperti di Minangkabau,
  2. Berdasarkan Patrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ayah, seperti di Tapanuli, Sumatera Utara, atau Batak,
  3. Berdasarkan Parental, yaitu melalui garis keturunan IBU dan AYAH (kedua-duanya), seperti di Jawa.

Masyarakat Hukum Adat Minangkabau
Masyarakat hukum adat dapat difahami melalui faktor teritorial dan faktor geneologis. Faktor teritorial terikat dengan suatu daerah tertentu. Faktor genealogis berdasar pertalian darah keturunan.
Orang Minangkabau, merasa terikat oleh satu keturunan yang ditarik menurut garis Ibu atau Perempuan.

  1. Kesatuan dasar keturunan itu disebut SUKU jang ditarik menurut garis keturunan perempuan atau Matrilinial.
    Hubungan kekerabatan matrilinial bersifat alamiah dan lebih awal munculnya dalam masyarakat dibanding tali kekerabatan lainnya.
    Sejak awal, anak-anak lebih mengenal Ibunya. Ibu melahirkan, mengurus, mengasuh dan ibu membesarkan anaknya. Ibu menjadi pendidik keluarga. lbu menentukan perkembangan keturunan. Melalui garis Ibu (perempuan) terjalin ikatan keluarga matrilinial.
  2. Peran ibu di Minangkabau ada dua ; pertama melanjutkan keberadaan suku dalam garis matrilineal, dan kedua menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Syara’ berlandaskan Kitabullah menempatkan perempuan pada posisi azwajan (mitra setara dan sederjat) dengan jenis laki‑laki sebagai pasangan hidup. Karena itu ibu menduduki peran sentral.
    Saat ini, tanggungjawab terhadap anak, dipastikan sepenuhnya telah berpindah ke tangan orang tua. Dominasi mamak beralih ke ayah khususnya, dan orang tua pada umumnya.
  3. Rumah tangga bagian terendah tata ruang masyarakat. Organisasi kekerabatan matrilinial Minangkabau dimulai dari Rumah Tangga yang dipimpin orang SUMANDO, artinya kekuasaan ada pada BAPAK.
    Anak Minangkabau punya nasab ayah, suku ibu, dan gelar mamak.
    ”Gala” adalah ”sako” dalam kaum atau suku.
    Orang Sumando mempunyai tugas berat,
    " mancari kato mufakaik, ma-nukuak mano nan kurang, mam-bilai mano nan senteng, ma-uleh sado nan singkek, Man-jinaki mano nan lia, ma-rapekkan mano nan ranggang, ma-nyalasai mano nan kusuik, ma-nyisik mano nan kurang, ma-lantai mano nan lapuak, mam-baharui mano nan usang".
    Idealnya urang sumando Minangkabau adalah urang sumando ninik mamak atau sumando mamak rumahImage
  4. Tali kekerabatan masyarakat Minangkabau yang kompleks selalu dijaga dengan baik. Seseorang dianggap ada, bila ia berhasil menjadi sosok yang diperlukan di kaumnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompoknya, bakorong bakampuang dan banagari.
  5. Keturunan matriliniel meluas jadi keluarga SAMANDE ditarik dari garis ibu. Anggota keluarga Samande menyadari bahwa mereka berasal dari satu rumah gadang dan dari saudara sama Ibu.
    Pimpinan dari keluarga Samande adalah MAMAK RUMAH. Tali kekerabatan dalam rumah gadang dari Samande dijaga oleh mamak. Peranan mamak masa dahulu amat dominan, ”Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mupakaik, Mupakaik barajo ka nan bana, Nan bana ba-diri sandirinyo”. Begitu terlihat jelas dalam rumah tangga di rumah gadang. Tanggung jawab mamak yang besar itu, sampai membuatkan rumah untuk kemenakan, jadi tanggungjawab mamak.
  6. Kekeluargaan matrilinial membentuk hubungan Saparuik dan Sajurai, yang dijaga oleh tungganai dan Tuo Kampuang.


Beberapa PARUIK membentuk KAUM dari garis keturunan ibu, dipimpin oleh PENGHULU KAUM, atau MAMAK KEPALA WARIS. Kumpulan beberapa KAUM membentuk kesatuan kerabat yang lebih besar, dinamakan SUKU, dipimpin oleh PENGHULU KAUM atau Penghulu Suku.
Kepemimpinan mamak menduduki jabatan penghulu di tengah kaumnya.
Penghulu, adalah pemuka masyarakat yang dipilih dan diangkat kaum. Mamak adalah pemegang tongkat penghulu yang dihormati kaumnya. Penghulu itu harus menjaga kehormatan.
Dia tidak boleh berbuat tidak baik. Malah, memanjat pohon untuk memetik buah-buahan tidak boleh dilakukan seorang penghulu. Dia akan menyuruh anak kemenakannya.
Dalam memimpin, penghulu mesti mampu berlaku adil dan bijaksana. ”tibo di paruik indak dikampihkan, tibo di mato indak dipiciangkan.”
Syarat utama pengangkatan seorang penghulu sangat berat.
Penghulu menjunjung gelar serta marwah anak kemenakan, korong kampung, kaum dan nagari.
Menjunjung gelar haruslah bertabur urai.
Maknanya berbuat untuk anak kemenakannya, karena hendak nama tinggalkan jasa.
Gelar penghulu tidak dapat dibagi-bagikan dengan mudah kepada sembarang pihak. Artinya, ”tantang rueh nan ba tuneh, tantang barih nan ba balabeh”.
Seorang yang menjabat ''penghulu” akan melaksanakan tugas diikat dengan sumpah ”ka ateh indak ba pucuak, ka bawah indak ba urek, di tangah di lariek kumbang”.
Mustahil, bila penghulu mendapatkan gelar lewat penganugerahan semata.
Ketika zaman berubah, "sakali aie gadang, sakali tapian baranjak" atau "sakali musim baganti, sakali zaman bakisa", peran dominasi mamak terhadap kemenakan mulai berkurang.
Pendidikan adat Minangkabau semestinya menyangkut kepada nilai-nilai adat itu. Sehingga upaya membentengi kemerosotan moral melalui nilai-nilai adat, mudah dilakukan.

Adat Minang mempunyai struktur yang jelas,

  1. Sistematika filosofi budaya Minangkabau, sahino samalu, sa iyo sa kato. Sistematika hukum adat Minangkabau, bajanjang naiek batanggo turun. Jenjangnya adalah tangga musyawarah.
  2. Dalam hal fungsi, ada hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam adat Minang.
    Secara filosofis, laki-laki dan perempuan punya fungsi sendiri pula
    Konsep Islam menempatkan manusia khalifah di muka bumi. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama pemimpin.
  3. Fungsi laki-laki (bapak dan mamak) serta perempuan (bundo kanduang pelanjut suku dan ibu pemimpin rumah tangga), sama pemimpin dalam fungsi, sah menurut syarak. Ideologi Minang sudah berjalan dan sudah ada, sahino samalu dan saling menghormati.
    Nan tuo dimulie kan, nan ketek di sayangi, samo gadang lawan ba iyo, sesuai kaedah syarak, menjadi adat yang diajarkan dalam menghormati orang tua (ibu,bapak).
  4. Ideologis Minangkabau adalah gabungan dari beberapa ideologi yang ideal bagi orang Minang sendiri. Adat Minangkabau mengakui persamaan gender sejak dulu. Masalah feminim sudah dikedepankan sejak lama, sebelum muncul dalam tataran global.
  5. Di masa lalu kekerabatan dapat dijaga oleh ninik mamak dibalut oleh sistem mata pencaharian yang sama.
    • Hubungan silaturahmi dalam kekerabatan adat memberi fungsi dan tugas dalam menata masyarakat banagari dan bakorong bakampuang, seperti Sumando, Mamak Rumah, Tungganai, Pangulu Suku, Andiko, Tuo Kampuang dan lainnya.
    • Hubungan kekerabatan di Minangkabau berlangsung secara harmonis dan dijaga dengan baik. Hal tersebut terjadi karena perasaan kekeluargaan dan perasaan semalu terjaga dalam hubungan keluarga dengan baik.
    • Seseorang akan dihargai oleh suku atau keluarganya apabila ia berhasil menyatu dengan kaumnya dan tidak membuat malu kaummya.

Menyigi matrilineal ini, maka tampaklah bahwa ;

  1. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang bukan Minang tidak mempunyai suku dalam adat Minangkabau.
  2. Untuk mendapatkan suku seseorang harus mempunyai prinsip hinggok mancangkam, lompek basitumpu, adat di isi limbago dituang pada sebuah suku oleh suatu nagari.
  3. Maka seorang perempuan yang menjadi menantu orang Minang biasanya diterima sebagai hinggok mancangkam, tabang basitumpu itu dalam suku lain, kecuali suku suaminya. Solusi ini telah berlaku sejak lama.
  4. Setelah diangkat sebagai anggota satu suku atau kemenakan dalam satu kaum, maka ia berhak mendapat gelar sako dari kaum itu. Keadaan seperti ini yang terjadi di daerah Sitiung atau Pasaman.
  5. Bergesernya pola keluarga kepada keluarga batih (keluarga kecil), maka fungsi sumando ninik mamak menjadi sangat luas.
  6. Gelar pusako, berkaitan dengan fungsi-fungsi yang ada dalam kaum, maka setiap kaum menentukan apakah gelar yang ada pada kaumnya dan terbatas itu, dapat ditambah asal tidak bertentangan dengan kaum lain, suku lain atau nagari lainnya
  7. Kawin sesuku, boleh atau tidak, sebenarnya dapat diatur dalam adat salingka nagari.

MEMPOSISIKAN PERANAN BAPAK, KEPALA KELUARGA DALAM MASYARAKAT ADAT MlNANGKABAU
Bapak atau ayah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, adalah ayah dari anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang diikat dengan satu perkawinan dalam ikatan ”rumah tangga”, artinya ayah biologis. Anak akan bernasab kepada ayah.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan dalam ikatan rumah tangga itu menurut hukum adat Minangkabau mengikuti garis keturunan Ibu mereka (matrilinial), karena masyarakat Minangkabau mengikuti sistem matrilinial, maka ANAK-ANAK bersuku (clan) kepada ibu.
Dalam tatanan global, suasana kebudayaan lebih didominasi oleh sistem patriaki
Setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) kini, hidup dalam Rumah sendiri masing­-masing. Keluarga atau rumah tangga Minangkabau sekarang, sama saja dengan keluarga di Batak ataupun di Jawa, hidup dalam rumah masing-masing secara mandiri.
Keluarga Minangkabau dengan garis keturunan matrilinial dan di Batak dengan garis keturunan patrilinial, atau Jawa dengan parental, kini, ke1uarga (ayah, ibu dan anak-anak mereka) itu, hidup otonom.

  1. Dalam adat Minangkabau ayah tidak hanya berperan sebagai ayah biologis, tapi juga sebagai ayah sosial. Kaum lelaki menjadi mamak dari kemenakannya, yakni anak-anak dari saudara perempuannya, disamping jadi ayah dari anak-anaknya.
  2. Sebagai mamak ia berkewajiban memperhatikan dan menjaga kemenakan dan sebagai ayah dari anak-anaknya. Dia wajib melindungi keduanya, sesuai fatwa adat anak di pangku kamanakan di bimbiang.
  3. Peran kaum lelaki menjadi berat. Tidak jarang, timbul pertentangan (paradoks) didalam menetapkan prioritas
    • Pada masa dahulu, sewaktu anak-anak dan ibu mereka masih hidup dan bertempat tinggal dalam Rumah Gadang, maka anak-anak mereka dibina oleh Mamak(dari garis keturunan ibu mereka). Ayah tidak banyak tinggal di rumah gadang itu.
    • Pada masa kini, setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) hidup secara tersendiri di rumah masing-masing. Tidak lagi dalam Rumah Gadang.
    • Ayah adalah Kepala Keluarga. Bertanggung jawab penuh terhadap istri dan anak-anak mereka.
  4. Laki-laki Minangkabau harus berperan sebagai ayah terhadap anak sejak berusia dini, dan teguh memperhatikan kemenakannya. Peranan laki-laki Minangkabau sebagai Bapak (ayah) dari anak-anak mereka adalah sebagai Kepala Keluarga.
    • Fakta menunjukkan, bahwa pelaksanaan ajaran agama sudah menjadi lebih dominan daripada ketentuan adat.
    • Bila ditilik menurut agama Islam, tanggung jawab mendidik anak itu berada di tangan orang tua. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran syarak atau agama Islam.
    • Harta pencaharian, baik harta pencaharian dari ayah ataupun dari ibu, kesemuanya dinikmati secara bersama-sama.
    • Peranan AYAH, sebagai kepala keluarga, baik di Minangkabau, di Batak ataupun di Jawa, ketiga-tiganya saat sekarang sama saja, sebagai Kepala Keluarga, yang mengayomi istri dan anak-anaknya.
  5. Laki-laki Minangkabau berperan sebagai Mamak. Dalam hal tertentu, seperti masalah perkawinan kemenakan mereka, tetap memerlukan izin dari mamak mereka.
  6. Mamak dari anak-anak mereka hidup terpisah. Mamak hidup dalam rumah tangganya tersendiri, bersama istri dan anak-anaknya. sendiri. Anak-anak mengikuti perintah MAMAK menurut garis keturunan Ibu mereka;
    • Dalam tata cara adat Minangkabau jika anak-anak tersebut kelak akan melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus mendapat persetujuan dari MAMAK mereka dari garis keturunan ibu mereka dalam adat istiadat.
    • Yang disebut mamak dari anak-anak adalah saudara laki-laki dari ibu mereka, bukan saudara laki-laki dari garis keturunan AYAH mereka.
    • Anak (yang menjadi kemenakan dari mamaknya) menurunkan gelar dari mamak sebagai sako dari suku mereka.Disini terlihat keistimewaan turunan Minangkabau sekarang.
    • Untuk menempatkan sistim matrilineal dalam tatanan global tidak mungkin merubah substansinya, karena sudah merupakan identitas Minangkabau.
  7. Mamak mereka tetap mengawasi harta Pusako Tinggi, sesuai dengan sistem matrilineal.
    • Ketika anak-anaknya telah berusia cukup, dia wajib memperhatikan kemenakannya dalam memberikan arahan atau bahkan mencarikan jodoh bagi kemenakannya.
    • “Anak dipangku kemenakan dibimbing”, memperlihatkan dua peran dari laki-laki Minang yaitu sebagai ayah dan sebagai mamak.
    • Masalah dalam pemeranan peran ganda laki-laki Minang, adalah faktor keterbatasan ekonomi. Satu solusinya adalah marantau untuk mengatasi keterbatasan ekonomi tersebut.
  8. Bila dilihat Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau itu memberikan beberapa pengaturan sesuai langgo langgi yang ada,
    1. Pengaturan Harato Pusako, Sako, Pusako di Minangkabau dan harta waris dikenal ada harta waris pusako tinggi, dan harta waris pusako randah.
      • Harta waris pusako tinggi diatur menurut garis keturunan ibu.
      • Harta waris pusako randah adalah harta waris perolehan selama perkawinan ayah dan ibu (suami dan istri), dibagi menurut faraid.
      • Demikian pula di Batak, harta waris mengikuti garis keturunan ayah, dan dikenal pula harta waris pusako randah, yaitu yang diperoleh selama hidup bersama (selama masa perkawinan antara ayah dan ibu).
      • Sedangkan di Jawa, semua harta waris, tetap diterima oleh keturunannya, baik yang laki-laki, maupun yang perempuan (sesuai sistem parental). Jadi harta warisan yang diterima dari Ibu ataupun dari Ayah, tetap akan diwariskan kepada anak-anaknya, baik yang laki-laki, maupun perempuan.
    2. Peran Laki-Laki, di didalam Kaum sebagai Kemenakan, sebagai Mamak dan sebagai Penghulu.
    3. C. Peran Laki-Laki di luar Kaum atau Persukuan, adalah sebagai Sumando dan kaum dari Persukuan.
    4. Peran dan Kedudukan Perempuan diatur didalam keluarga kaumnya dan didalam keluarga batih dengan suami dan anak turunannya.

Peran perempuan menurut agama dan adat.
Agama Islam dan adat Minangkabau tidak melarang perempuan berperan diluar lingkungan domestik. Perannya itu tidak boleh meninggalkan peran-peran esensi melahirkan dan mendidik anak sebagai ibu rumah tangga. Allah SWT telah menciptakan dan menyediakan semua keperluan kita. Allah SWT memberi pula alat dan daya untuk mendukung usaha hidup kita dengan hak dan kewajiban. Kaum lelaki bukan diktator. Maka, tanggung jawab lelaki sebagai suami (semenda dan mamak) menurut Al Quran sangat berat, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ = Lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan … (QS. an-Nisa’:34).
Perannya tidak boleh merendahkan harkat dan martabat wanita Minang yang hidup dalam ajaran agama Islam.

  • Sistem matrilineal dapat menjadi sebuah tataran konseptual bagi kebudayaan di luar Minangkabau, khususnya kebudayaan kontemporer yang menyatakan persoalan gender. Gender didominasi oleh ideologi liberalis dan kapitalis.
  • Mekanisme kontrol, check and balance, dalam matrilineal di Minangkabau terdapat dalam bentuk sistem, bukan lembaga seperti yang ada dalam negara atau pemerintahan.
  • Di era modernisasi dan perkembangan zaman/globalisasi yang secara konsep adat Minangkabau pada prinsipnya dapat tetap dipertahankan keberadaannya. Walaupun akan terjadi perubahan, bukannya terhadap hal-hal yang terkait esensi. Artinya kita tidak boleh menutup mata terhadap perubahan tersebut.
  • Dengan telah terjadinya pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, pada satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya mamak dalam keluarga kaumnya. Akibat terjadinya perubahan fungsi dan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, akan berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.
  • Mekanisme dan penerapan sistem matrilineal pada hakekatnya hanyalah merupakan persoalan perkauman, hubungan ninik mamak dengan kemenakan, hubungan sumando-manyumando.
    Perempuan Minangkabau mulia, memiliki kebesaran dan bertuah. Katanya didengar anak cucu. Dari turunannya diangkat para penghulu dan ninik mamak. Jika masih hidup tempat berniat. Ketika sudah mati tempat bernazar, jadi payung panji ke sorga, sesuai ajaran syarak,"sorga terletak dibawah telapak kaki ibu" (al Hadist).

Hal ini memperlihatkan dengan jelas kokohnya kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi sentral. Perempuan Minang, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum.
Didalam mengembangkan karier dan profesinya perempuan Minangkabau dianjurkan berjuang mempengaruhi lingkungan profesi baru itu dengan nilai-nilai keminangkabauan dan keislaman.

  • Seorang ibu Minangkabau seyogyanya menguasai terminologi hubungan kekerabatan Minangkabau, walaupun ia hidup dalam keluarga batih, sehingga nilai-nilai yang biasa berlaku dalam masyarakat Minangkabau secara umum dapat diteruskan kepada anak-anaknya.
  • Perlu dipikirkan kembali pemberian sebutan rangkayo bagi perempuan Minang yang sudah bersuami. Dalam sebutan perempuan Minangkabau dihindarkan membawa gelar adat suami sebab jelas itu milik suku lain.


Ungkapan mandeh dan bundo yang dilekatkan kepada perempuan Minangkabau, menempatkan laki­-laki (suami) pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan dan anak turunan. Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab kepada ayah (laki-laki), bersuku kepada ibu, bergelar dari mamaknya (garis matrilineal).

Beberapa permasalahan saat sekarang ini.

    1. Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Minang, terutama dalam hal perubahan dimana si anak tidak mengenal siapa mamaknya dan dimana kampungnya, sehingga mamak tidak mengenal kemenakan dan sebaliknya.
    2. Permasalahan juga terjadi ketika perempuan Minang menikah dengan non Minang, seringkali anak turunannya beranggapan bukan bergaris matrilineal lagi. Padahal dalam hukum adat Minangkabau anak turunan tersebut masih bersuku kepada ibunya. Solusi bagi masalah ini, adalah meningkatkan kembali sistem pendidikan di keluarga. Keluarga harus menjadi suatu sistem pendidikan dini bagi anak yang akan menjelang dewasa, disamping wadah untuk menjelaskan hubungan kekerabatan sesuai adat yang berlaku.
    3. Permasalahan yang banyak terjadi, mamak tidak kenal kemenakan dan begitu pula sebaliknya. Mengatasi ini;
      • Perlu sosialisasi adat dan hubungan kekerabatan ini lewat pendidikan formal ataupun nonformal.
      • Perlu kembali pengajaran adat melalui suku.
      • Dimulai dari dalam keluarga mengajarkan adat istiadat dan hubungan kekerabatan dan juga penggunaan bahasa ibu.
      • Dalam sosialisasi pendidikan adat istiadat, diberikan dalam berbagai bentuk ; kesenian, diskusi keluarga, sehingga nilai-nilai budaya Minang tersebut dapat tersampaikan.
      • Terjadi perubahan struktur keluarga dalam sistem matrilineal bila ditinjau dari sudut agama, perkembangan zaman dan adat dipakai baru, kain dipakai usang.

9. Tanah Pusako Tinggi adalah tanah yang dimiliki oleh Kaum, yang merupakan milik bersama dari seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun, yang pengawasannya berada di tangan MAMAK KEPALA KAUM.
Tanah Pusako Randah, adalah harta yang diperoleh seseorang atau suatu/sebuah paruik berdasarkan pemberian atau hibah, maupun yang dipunyai oleh suatu keluarga berdasarkan pencahariannya, pembelian, ”taruko” dan sebagainya. Pada waktu ini tanah ulayat nagari, maupun tanah ulayat suku, di beberapa nagari sudah hampir tidak ditemukan lagi, karena "pudar" dilanda perkembangan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi.

Problema Masyarakat Adat Budaya Minangkabau

  1. Permasalahan besar orang Minang kini, adalah kaburnya jati diri. Seringkali orang Minang, tidak lagi bangga menjadi orang Minang.
    Walau sejarah telah mencatat, bahwa Minangkabau adalah suatu suku bangsa yang terkenal menonjol dalam mobilitas yang tinggi serta sering menjadi pelopor. Keberhasilan orang Minang dalam berbagai bidang membuktikan hal ini pada masa lalu.
    Kepeloporan, mesti diraih masa ini dan dipertahankan masa datang.
  2. Orang Minangkabau banyak yang merantau.
    Di rantau kehidupannya sama dengan kehidupan orang lain. Ada satu kebanggaan dalam dirinya.
    Kampung halamannya tetap menghimbaunya pulang.
  3. Pertanyaan orang Minang tentang adat Minangkabau.
    Banyak orang rantau Minangkabau bertanya mengapa orang Minang tidak menurunkan pusako kepada anaknya, sesuai dengan hukum Islam? Mengapa diturunkan kepada kemenakan atau anak saudara-saudara perempuannya?
    „« Perlu ada sosialisai pemahaman tentang budaya Minangkabau yang menggugah masyarakat Minang agar peduli dengan adat dan budaya Minangkabau,
    „« Menggali dan memahami nilai-nilai luhur adat budaya Minangkabau,
  4. Ada dua faktor perlu dicermati di tengah perkembangan sekarang :
    • Faktor internal ;
      • Orang Minangkabau kurang memahami adat dan budaya Minang. Tidak ada tokoh nasional yang berkelanjutan, yang ada sekarang kurang visioner.
      • Kualitas SDM pemangku adat lemah. Kurang peduli sesama. Ajaran syarak tidak dilaksanakan,
      • Sumber mata pencarian para pemuka adat (kebutuhan hidup) terbatas.
    • Faktor eksternal
      • Pengaruh budaya asing. Karena tidak kuatnya syarak dalam perlakuan adat, maka jalan di alieh urang lalu.
      • Pengaruh teknologi yang salah terapan. Informasi dan komunikasi tak ada saringan. Pengaruh materialisme,
      • Pengaruh pergaulan antar masyarakat.

Mengantisipasi kedua faktor ini perlu mengingatkan kembali masyarakat Minang kepada landasan filosofi budaya Minang, yaitu adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Menghidupkan Adat dan Syarak di Minangkabau.

  1. Introspeksi diri dari semua warga dan semua tingkat dan kedudukan tentang perlunya memelihara nilai-nilai budaya kekerabatan yang ada, dan merumuskan nilai-nilai tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dihayati dan diamalkan.
  2. Bagaimanapun, dalam merumuskan nilai-nilai tersebut kita harus realistis menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga disana sini perlu ada penyesuaian, misalnya dalam menghadapi perkawinan antar suku bangsa, sepanjang tidak merusak sendi-sendi budaya tersebut.
  3. Membiasakan dalam lingkungan keluarga menjalankan nilai-nilai dan aturan-aturan kekerabatan itu. Bertingkah laku sesuai dengan status dalam kekerabatan, mamak sebagai mamak, kemenakan sebagai kemenakan, ibu sebagai ibu, ayah sebagai ayah, dan seterusnya. Membiasakan bahasa Minang dalam keluarga. Strategi pewarisan atau sosialisasi pengetahuan dan nilai budaya Minangkabau melalui ” Batunjuak baajari ” oleh orang tua kepada anak atau dari mamak kepada kemanakan.
  4. Ada beberapa pegangan yang harus dijaga dengan baik untuk melaksanakan syarak dan adat dalam budaya Minangbkabau itu, antara lain ;
    • Harato pusako tinggi yang diamanahkan dari ninik turun kemamak, dari mamak turun kekemenakan, tidak boleh diperjualbelikan atau keluar dari suku. Dalam keadaan khusus, seperti ditemukan potensi kekayaan alam yang tinggi, maka hasil pengolahannya dikembalikan kepada kaum, artinya jika digunakan untuk kepentingan komersial, maka harus ada manfaatnya bagi kaum. Harato pusako tinggi ini digunakan sesuai Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur akan hal ini.
    • Pusako boleh digadai dengan 4 syarat, jika terjadi
      1. rumah gadang katirisan,
      2. maik tabujua ditangah rumah,
      3. gadih gadang indak balaki,
      4. Malu nan tacoreang di kaniang.
    • Harato pusako randah diwariskan sesuai dengan aturan pewarisan hukum Islam.
    • Kurangnya pemahaman adat dan syarak dari datuk penghulu. Banyaknya sikap apatis orang Minang terhadap adatnya.
    • Manajemen kepenghuluan mamak dalam kaum, kurangnya wibawa ninik Mamak dalam kaum.

Kesimpulan

    1. Bapak sebagai Kepala Keluarga dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, berperan sebagai Kepala Keluarga yakni Kepala Rumah Tangga, sebagai pembina dan pengayom isteri dan anak-anak mereka.
    2. Laki-laki Minangkabau berperan ganda. Sebagai Bapak dan Mamak. Dalam posisi sebagai Mamak, berperan da1am hukum adat Minangkabau sebagaimana telah berlaku selama ini, khususnya dalam memelihara, mengatur Harta Pusako Tinggi, yang masih tetap berlaku di dalam Masyarakat hukum adat Minangkabau.
    3. Sistem Matrilineal di Minangkabau di era modern sesuai perkembangan zaman secara konsep dan prinsip dapat dipertahankan keberadaannya. Walaupun terjadi perubahan, bukan terhadap hal-hal yang terkait esensi. Perubahan tetap ada. Pengamatan menyatakan, telah terjadi pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, dalam fakta mengarah kepada patriarki. Keadaan ini, satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya lagi mamak dalam keluarga kaumnya.
      Terjadinya perubahan fungsi ini dan pergeseran kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, tentu sangat berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.
    4. Karena itu, peran orang tua sangat menentukan di dalam memberikan uswah dan laku perangai yang mencerminkan watak, sifat fisik, kognitif, emosi, sosial dan rohani dengan kesalehan sosial dalam masyarakat adat di Minangkabau.
    5. Perlu dilakukan berapa tindakan, antara lain ;
      1. Penguatan Ikatan Keluarga Minangkabau sebagai sistem
        (a) Keluarga harus dilihat sebagai suatu sistem yang tidak terpisah satu sama lain, dan harus dapat memahami keberadaan anggota keluarga lainnya.
        (b) Adanya kecintaan di antara sesama anggota keluarga sehingga lahir sikap dalam membela kepentingan keluarga yang lainnya, sahino samalu, seiya sakata.
        (c) Adanya kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan dan masalah yang muncul dalam keluarga, sehingga terwujud kebahagiaan keluarga.
      2. Penguatan struktur dan fungsi keluarga
        a) Fungsi Pengasuhan
        1) Ayah sebagai kepala keluarga, bila tidak ada ayah, ibu yang berperan sebagai kepala keluarga.
        2) Kesepakatan pengasuhan anak, sebagai kekuatan adat Minangkabau “anak di pangku kamanakan di bimbiang” terlaksana dalam hubungan pengasuhan modern.
      3. Sikap dan tindakan orang tua dalam pembentukan pola perilaku generasi ( melindungi, memberikan kebebasan, mengembangkan cita dan keinginan anak turunan, menyayangi anak dan kemauan mendengar keluhan generasi), akan melahirkan kebersamaan mengatasi masalah antar generasi Minangkabau.
        b) Fungsi Sosialisasi
        1) Membangun komunikasi yang efektif seharusnya terjadi dalam keluarga, sehingga terjadi pemberian peran dan tanggung jawab pengayoman dari mamak kepada kemenakan secara turun temurun.
        2) Penghargaan terhadap sesuatu yang bernilai kepada anak dan kemenakan dalam membangun kerja sama dan keakraban sesama anak dan kemenakan.
        3) Pemeliharaan rasa saling mengasihi/menghormati dalam keluarga oleh setiap orang tua Minangkabau menunjukkan sikap keteladanan dalam keluarga.
        d) Fungsi Kasih Sayang
        1) Kewajiban ayah dan ibu memberikan kasih sayang kepada anaknya.
        2) Kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak
        3) Perhatian terhadap anggota keluarga pada saat-saat khusus dan saat mengalami kesedihan, tibo di baiek baimbauan, tibo di buruak ba ambauan
      4. Fungsi Ekonomi
        (1) Ada tanggung jawab mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
        (2) Ada keharusan berperan bersama dalam keluarga sehingga kebutuhan sehari-hari terpenuhi.
        (3) Ayah bunda berperan menjadi tulang punggung penghidupan atau penghasilan bagi keluarga.
        3) Pengembangan Komunikasi antara Keluarga
        (a) Menjaga hubungan atau interaksi antara keluarga, barek sapikua ringan sejinjing.
        (b) Menjaga kebersamaan keluarga dalam melaksanakan ibadah keluarga serta dalam mengatasi masalah.
        (c) Menjaga kesediaan mendengarkan keluhan dan mendorong kemauan anggota keluarga ke arah yang positif sebagai mengawali komunikasi antar keluarga.
        Persaudaraan tidak mungkin dapat tumbuh dengan penolakan hak-hak individu rakyat banyak. Ketamakan serta penindasan akan mempertajam permusuhan antar kelompok masyarakat. Maka, generasi Minangkabau yang juga adalah seorang muslim yang baik sudah semestinya mengamalkan akhlak karimah yang standar secara profesional dengan kemauan dari dalam diri. Kemudian dihayati menjadi etika sesuai yang diajarkan oleh adat Minangkabau, sebagai pengamalan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
        Wassalam.