Senin, 24 November 2008

Reposisi Peran Dan Fungsi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Bagi Masyarakat Nagari Dewa

PATUT SEKALI KITA BERSYUKUR, bahwa nikmat Allah yang kita peroleh sebagai bagian dari hasil perjuangan dan pengisian kemerdekaan bangsa kita, dapat kita rasakan, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Semuanya kita peroleh tidak dengan cuma‑cuma, tetapi melalui pengorbanan dan ketekunan sambung bersambung. Keterpaduan hati, tekad dan langkah, sangat banyak memberi­kan kontribusi dari apa yang kita peroleh hari ini. Kita memiliki lebih banyak kesem­patan untuk bergerak lebih leluasa dan bertanggung jawab. Di daerah kita Sumatera Barat kita merasakan keterbu­kaan dalam bentuk lain.

Di Abad ini, telah terjadi lonjakan perubahan dengan cara cepat, transparan, dan bumi terasa sempit seakan tak ada sekat (batas). Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi telah menjadikan satu sama lain menjadi dekat. Kita, masyarakat Sumatera Barat, amatlah bersyukur kepada Allah, atas rahmat yang besar dengan nilai-nilai tamadun budaya Minangkabau yang terikat kuat dengan penghayatan Islam, dan terbukti pada masa yang panjang dizaman silam menjadi salah satu puncak kebudayaan dunia. Namun, tersebab kelengahan dan terpesona kepada budaya lain diluar kita, dan derasnya penetrasi budaya luar (asing), kita pun mengalami situasi seakan membakar obat nyamuk. Lapis luar pertama berangsur punah terbakar dan api beringsut secara pasti menuju tengah lingkaran dan dalam. Bila dibiarkan berlalu, rela ataupun tidak, akhirnya yang tinggal abu semata.
Desa‑desa yang tadi hanya dilalui oleh kuda‑kuda berkaki empat, sekarang sudah mulai dimasuki kendaraan beroda empat. Daerah sulit dijangkau berjalan kaki, sekarang sudah dapat didatangi suzuki. Pedati pun sudah pula diganti dengan gerobak Jepang. Bagaimana kehidupan masyarakat di desa‑desa ‑‑ yang tadinya terisolir, atau tertinggal, dan nyatanya sekarang seluruh atau sebagian isolasi itu setelah di buka dan menjadi sentra dari perkebunan‑perkebunan besar (seperti Pasaman, Sitiung dan Solok Selatan) ???
Hubungan pemuda‑pemudi kita tidak hanya tersungkup oleh kehidupan kampung, tapi sudah bisa meniru kekiri kanan. Mereka mulai berbuka-bukaan meniru segala perubahan hampir‑hampir tidak punya batas. Hubungan kekerabatan dalam keluarga mulai menipis. Peran ninik mamak masih terlihat hanya dalam batas‑batas seremonial. Peran da'i dan khatib dinagari mulai terbatasi sekedar pengisi ceramah, khutbah Jum'at, atau mengaji di Masjid dan menjadi sangat perlu dan dicari kalau-kalau ada yang lahir dan mati. Kedu­dukan orang tua, hanya menyediakan serba kebutuhan fisik dan materi.
Guru‑guru disekolah punya tugas mengajar, peran pendidikan menjadi kabur dan melemah. Kondisi beginilah sebenarnya yang sangat rawan dalam meniti abad ke duapuluh satu ini. Karena itu kita sangat di tuntut untuk membentuk pribadi‑ pribadi yang utuh dan unggul dengan iman dan taqwa, berlimu pengetahuan dan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, ber‑moral akhlak, ber‑adat dan ber‑agama.

PERPADUAN ADAT DAN SYARAK
Firman Allah menyatakan, “ Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).
Nabi Muhammad SAW memesankan bahwa “Perbedaan ditengah-tengah umatku adalah rahmat” (Al Hadist). Dan sebuah lagi, “innaz-zaman qad istadara”, bahwa sesungguhnya zaman berubah masa berganti (Al Hadist).
Untaian kata hikmah di Minangkabau mengungkapkan “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko hiduik”. Akan tetapi selama 21 tahun, telah terjadi banyak perubahan, dan kita tidak boleh berbeda terutama terhadap sistim pemerintahan local yang khas -- Nagari di Minangkabau – menjadi segaram, dengan diberlakukannya UU No.5 tahun 1979.
Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran,

1. “Mengutamakan prinsip hidup keseimbangan.” Ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Hukum Islam menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan perkembangan jasmani ; "Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara" (Hadist). Keseimbangan jelas tampak dalam mementaskan kemakmuran di ranah ini, “Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang. "Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya" (Hadist).

2. “Kesadaran kepada bagaimana luasnya bumi Allah.”. Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan". (QS.62, Al Jumu’ah : 10). Supaya jangan tetap tinggal terkurung dalam lingkungan yang kecil, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97). Karatau madang dihulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu dirumah paguno balun. *1
Dalam membina umat di nagari yang dicari adalah “opsir lapangan” yang bersedia dan pandai berkecimpung di tengah‑tengah umat. Selain ilmuan, sarjana berpengalaman, sangat diperlukan mata yang “mahir membaca masyarakat”. Kemahiran membaca “kitab masyarakat” acap kali tidak dapat diperoleh dalam ruang kuliah dan perpustakaan semata. Maka perlu meng-introdusir tenaga sarjana agama kita kembali ketengah masyarakatnya di nagari-nagari, dengan usaha sedemikian itu, akan dapat dirasakan denyut nadi kehidupan umat, dan lambat laun akan berurat pada hati umat itu.

TATA RUANG
Nagari tumbuh dengan konsep tata ruang yang jelas. Ba-balerong (balai adat) tempat musyawarah, ba-surau (musajik) tempat beribadah, ba-gelanggang lapangan tempat rang mudo bermain, ba-tapian tempat mandi, ba-pandam pekuburan, ba-sawah bapamatang, ba-ladang babintalak, ba-korong bakampung, sesuai dengan istilah-istilah yang lazim dan mungkin berbeda penyebutannya pada setiap nagari.
Konsep tata-ruang ini adalah salah satu asset yang sangat berharga dalam nagari dan menjadi idealisme nilai budaya di Minangkabau. Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak.
Tata ruang dalam masyarakat yang jelas itu memberikan posisi kepada peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari.
Pemeran itu telah disepakati terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak *2, alim ulama*3, cerdik pandai*4, urang mudo*5, bundo kanduang*6).Dengan demikian, terlihat bahwa nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas pengertian ulayat hukum adat namun yang lebih mengedepan dan paling utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat didalam nagari itu yang mempunyai keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani. “Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tango”.
Sikap hidup (attitude towards life) yang demikian, tak dapat tidak merupakan sumber dorongan bagi kegiatan penganutnya, juga di bidang ekonomi, yang bertujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs semata, tetapi mau bekerja dengan sikap tawakkal dengan bekerja dan tidak boros*7. . Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari dan kepada tingkat kecerdasan yang telah dicapai.

KEMBALI KENAGARI
Kembali ke Nagari semestinya lebih dititik beratkan kepada kembali banagari.
Perubahan cepat yang sedang terjadi, apakah karena sebab derasnya gelombang arus globalisasi, atau penetrasi budaya luar (asing) telah membawa akibat bahwa perilaku masyarakat, praktek pemerintahan, pengelolaan wilayah dan asset, serta perkembangan norma dan adat istiadat di banyak nagari di Sumatera Barat mulai tertinggalkan.
Perubahan perilaku tersebut tampak dari lebih mengedepannya perebutan prestise yang berbalut materialistis dan individualis. Akibatnya, perilaku yang kerap tersua adalah kepentingan bersama dan masyarakat sering di abaikan. Menyikapi perubahan-perubahan sedemikian itu, acapkali idealisme kebudayaan Minangkabau menjadi sasaran cercaan. Indikasinya terlihat sangat pada setiap upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif dan bermasyarakat) menjadi kurang diacuhkan dibanding pencapaian hasil perorangan (individual).
Sebenarnya, nagari dalam daerah Minangkabau (Sumatera Barat) seakan sebuah republik kecil. Mini Republik ini memiliki sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri.
Semestinya dipahami bahwa kembali kenagari tentu bukanlah kembali kepada pemerintahan nagari dizaman penjajahan, yang dalam banyak hal mungkin tidak sesuai dengan alam kemerdekaan dan reformasi.*8

Kembali kenagari haruslah bermula dengan kesediaan untuk rujuk kepada hukum adat (norma yang berlaku di nagari) dan kesetiaan melaksanakan hukum positf (undang-undang negara).
Muara pertama terdapat pada supra struktur pemerintahan nagari, dimana kepala pemerintahan negari (kepala negari) akan berperan sebagai kepala pemerintahan di nagari dan juga pimpinan adat. Sebagai kepala pemerintahan terendah dinagari memiliki hirarki yang jelas dengan pemerintahan diatasnya (kecamatan atau kabupaten). Sebagai kepala adat harus berurat kebawah yakni berada ditengah komunitas dan pemahaman serta perilaku adat istiadat yang dijunjung tinggi anak nagari (adat salingka nagari). Minangkabau tetap bersatu, tetapi tidak bisa disatukan.
Muara kedua, dukungan masyarakat adat (kesepakatan tungku tigo sajarangan yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan kalangan rang mudo), dan mendapat dukungan dalam satu tatanan sistim pemerintahan (perundang-undangan). Anak nagari sangat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya. Konsepnya tumbuh dari akar nagari itu sendiri, bukanlah suatu pemberian dari luar. Lah masak padi 'rang singkarak, masaknyo batangkai-tangkai, satangkai jarang nan mudo, kabek sabalik buhus sintak, Jaranglah urang nan ma-ungkai, Tibo nan punyo rarak sajo. Artinya diperlukan orang-orang yang ahli dibidangnya untuk menatap setiap perubahan peradaban yang tengah berlaku. Hal ini perlu dipahami supaya jangan tersua seperti kata orang “ibarat mengajar kuda memakan dedak”.
Masyarakat nagari sesungguhnya tidak terdiri dari satu keturunan (suku) saja tetapi terdiri dari beberapa suku yang pada asal muasalnya berdatangan dari berbagai daerah asal di sekeliling ranah bundo. *9
Yang datang dihargai dan masyarakat yang menanti sangat pula di hormati. dima bumi di pijak, di sinan langik di junjuang, di situ adaik bapakai. Disini tampak satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi, sebagai prinsip egaliter di Minangkabau.
Kalau bisa dipertajam, inilah prinsip demokrasi yang murni dan otoritas masyarakat yang sangat independen. Langkah Penting adalah,

1. Menguasai informasi substansial
2. Mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment
3. Memperkuat kesatuan dan Persatuan di nagari-nagari
4. Muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri.

Tugas kembali kenagari, sesungguhnya adalah, menggali kembali potensi dan asset nagari. Bila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari itu. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari. Kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing, untuk kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan, dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. *10
Diperlukan kerja keras, untuk Meningkatkan Mutu SDM anak nagari melalui kerja keras dalam rangkaian,
Penguatan (pemerkasaan) potensi yang sudah ada melalui program utama, menumbuhkan SDM Negari yang sehat dengan gizi cukup, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama terapan), mengokohkan pemahaman agama, sehingga anak negari menjadi sehat rohani, menjaga terlaksananya dengan baik norma-norma adat, sehingga anak nagari menjadi masyarakat beradat yang beragama (Islam). Menggali potensi SDA yang ada di nagari, yang diselaraskan dengan perkembangan global yang tengah berlaku, Memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. Membangun kesejahteraan bertitik tolak pada pembinaan unsur manusianya. Dari self help (menolong diri sendiri) kepada mutual help, tolong-menolong, sebagai puncak budaya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Dalam rangka pembagian pekerjaan, ber-ta'awun sesuai dengan anjuran Islam, "Bantu membantu, ta'awun, mutual help dalam rangka pembagian pekerjaan (division of labour) menurut keahlian masing-masing ini, akan mempercepat proses produksi, dan mempertinggi mutu, yang dihasilkan. Itulah taraf ihsan yang hendak di capai. Memperindah nagari dengan menumbuhkan percontohan-percontohan di nagari, yang tidak hanya bercirikan ekonomi tetapi indikator lebih utama kepada moral adat “nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”. Mengefisienkan organisasi pemerintahan nagari dengan reposisi (dudukkan kembali komponen masyarakat pada posisinya sebagai subyek di nagari) dan refungsionisasi (pemeranan fungsi-fungsi elemen masyarakat). *11

ULAMA MINANGKABAU MENUJU PEMERINTAHAN NAGARI
Yang mesti dikembangkan di nagari-nagari adalah "hidup modern dan maju dengan keimanan yang kokoh". Disinilah peran alim ulama ninik mamak dan pemimpin formal dan informal membentuk kader‑ kader terarah yang selektif dengan misi dakwah membangun negeri.
Di abad‑abad mendatang, Sumatera Barat harus menjadi tempat berkembangnya industri menengah, kalau kita mau membaca gambaran berkembang­nya usaha‑usaha perkebunan besar di ulayat Ranah Bundo ini. Dengan sendirinya, diperlukan tenaga kerja yang terampil, dan ahli dalam "mangakok" kerja‑kerja itu. Untuk itu diperlu­kan sumber daya manusia yang mampu mempertemukan otak dan otot. Konsekwensi dari keadaan ini, penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi pekerjaan rumah. Tentu mendesak pula akan adanya program pelatihan keterampilan, yang khusus‑khusus yang diperlukan oleh bidang‑bidang yang membutuhkan, sebelum kesempatan itu di isi oleh tenaga‑tenaga lainnya, dari luar. Disinilah kita memerlukan segera melaksanakan social reform. Bila tidak, kondisi ini juga akan mengundang kerawanan sosial, apalagi bila penduduk desa-desa yang menjadi sentra perkebunan besar di Sumatera Barat ini tidak berkemampuan dalam mengantisipasi dampak besar yang akan timbul, dan tidak pula memiliki kesiapan menerima abad Duapuluh Satu.
Perubahan zaman dalam kemajuan teknologi maklumat (globalisasi informasi dan komunikasi), telah membawa berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat. Tuntutan zaman terus bergulir, sebagai bagian dari “Sunnatullah”. *12
Memang sangat memilukan sekali bahwa rakyat kecil itu pula dimasa derasnya arus globalisasi ini senantiasa dijadikan sasaran empuk. Karena ketiadaan juga rupanya mereka menjadi kafir. Tantangan di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya penghayatan agama paling terasa di berapa medan dakwah dan daerah terpencil, berbentuk gerakan salibiyah dan bahaya pemurtadan. Ditengah perkotaan berkembang upaya pendangkalan agama dan keyakinan seiring dengan menipisnya pengamalan agama serta pula bertumbuhnya penyakit masyarakat (tuak, arak, judi, dadah, pergaulan bebas dikalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindakan kriminal dan anarkis) dan semuanya tidak dapat dibantah telah mengarah kepada dekadensi moral.
Pengendali kemajuan sebenar adalah agama dan budaya umat (umatisasi). *13
Bagi masyarakat Barat tercerabutnya agama dari diri masyarakat tidak banyak pengaruh pada kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Akan lainlah halnya bila tercerabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), tercerabutnya agama dari budaya mereka akan berakibat besar kepada perubahan prilaku dan tatanan masyarakatnya.
Penyebabnya hanya sebuah, yaitu masyarakat beradat dengan “adatnya bersendi syarak, syaraknya bersendi kitabullah” dan “syarak (=agama) mangato (=memerintahkan) maka adat mamakai (=melaksanakan)”.
Sungguh suatu kecemasan ada didepan kita, bahwa sebahagian generasi yang bangkit kurang menyadari tempat berpijak. Dalam hubungan ini diperlukan penyatuan gerak langkah.
Kelemahan mendasar ditemui pada melemahnya jati diri karena kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa. Dipertajam lagi oleh tindakan isolasi diri dan kurang menguasai politik, ekonomi, sosial budaya, lemahnya minat menuntut ilmu, yang menutup peluang untuk berperan serta dalam kesejagatan. *14
Semakin parah karena adanya pihak-pihak agama lain yang memulai sarana dakwahnya dengan uluran tangan pemberian. Sementara juru dakwah jangankan memberi untuk hidup pun kadang-kadang susah.
Pemantapan tamaddun, agama dan adat budaya didalam tatanan kehidupan menjadi landasan dasar pengkaderan re-generasi, dengan menanamkan kearifan dan keyakinan bahwa apa yang ada sekarang akan menjadi milik generasi mendatang. Konsekwensinya, kita memikul beban kewajiban memelihara dan menjaga warisan kepada generasi pengganti, secara lebih baik dan lebih sempurna agar supaya dapat berlangsung proses timbang terima kepemimpinan secara estafetta alamiah, antara pemimpin yang akan pergi dan yang akan menyambung, dalam suatu proses patah tumbuh hilang berganti. Kesudahannya yang dapat mencetuskan api adalah batu pemantik api juga. *15
Dinagari kita di Minangkabau semestinya ditanamkan komitmen fungsional bermutu tinggi. Memiliki kemampuan penyatuan konsep-konsep, alokasi sumber dana, perencanaan kerja secara komprehensif, mendorong terbinanya center of excelences. Pada ujungnya, tentulah tidak dapat ditolak suatu realita objektif bahwa, “Siapa yang paling banyak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat, pastilah akan berpeluang banyak untuk mengatur masyarakat itu.”
Rusaknya dakwah dalam pengalaman selama ini karena melaksanakan pesan sponsor diluar ketentuan wahyu agama.
Kemunduran dakwah selalu dibarengi oleh kelemahan klasik kekurangan dana, tenaga, dan hilangnya kebebasan gerak. Akibatnya masyarakat mati jiwa.
Masyarakat yang mati jiwa akan sulit diajak berpartisipasi dan akan kehilangan semangat kolektifitas.
Bahaya akan menimpa tatkala jiwa umat mati di tangan pemimpin. Tugas ulama menghidupkan umat. Jangan dibiarkan umat digenggam oleh pemimpin otoriter dengan meninggalkan prinsip musyawarah. Hal tersebut akan sama dengan menyerahkan mayat ketangan orang yang memandikannya. Karena itu, hidupkan lembaga dakwah sebagai institusi penting dalam masyarakat.
Problematika pembinaan Agama di nagari
Secara umum perkembangan masyarakat nagari diabad ini mengalami pergeseran pula, “masyarakat di datangi dakwah dan tidak lagi mendatangi dakwah.”. Pada beberapa daerah tampak dengan kurangnya minat orang tua menyerahkan anak-anaknya ke Pendidikan-pendidikan Islam (Surau, majelis ta’lim, TPA, MDA, bahkan pengajian-pengajian Al-Qur’an). Kebiasaan meminum minuman keras (Miras) dikalangan muda/remaja, berkembangnya pergaulan bebas (diluar batas-batas adat dan agama) mulai tumbuh merajalela.
Peranan ulama Minangkabau sejak dulu adalah membawa umat, melalui informasi dan aktifiti, kepada keadaan yang lebih baik, Kokoh dengan prinsip, qanaah dan istiqamah. Berkualitas, dengan iman dan hikmah. Ber-‘ilmu dan matang dengan visi dan misi. Amar makruf nahyun ‘anil munkar dengan teguh dan professional. Research-oriented dengan berteraskan iman dan bertelekankan tongkat ilmu pengetahuan.
Peran dan perjuangan para ulama dalam membina nagari hari ini seringkali tidak terikuti oleh pembinaan yang intensif, disebabkan :
Kurangnya tenaga da’I, tuangku, ulama yang berpengalaman, berkurangnya jumlah mereka di daerah-daerah (karena perpindahan ke kota dan kurangnya minat menjadi da’i .
Terabaikannya kesejahteraan da’i secara materil yang tidak seimbang dengan tuntutan yang diharapkan oleh masyarakat dari seorang da’i .
Jauhnya daerah-daerah yang harus didatangi oleh juru dakwah sementara tidak tersedianya alat transportasi.
Sering ditemui transport umum sewaktu-waktu ke daerah-daerah binaan dakwah jarang pula tersedia.
Umumnya juru dakwah bukanlah pegawai negeri yang memiliki penghasilan bulanan yang tetap, akan tetapi senantiasa dituntut oleh tugasnya untuk selalu berada ditengah umat yang dibinanya.
Mengembalikan Minangkabau keakarnya ya’ni Islam tidak boleh dibiar terlalai. Karena akibatnya akan terlahir bencana. Acap kali kita di abaikan oleh dorongan hendak menghidupkan toleransi padahal tasamuh itu memiliki batas-batas tertentu pula. Amatlah penting untuk mempersiapkan generasi umat yang mempunyai bekalan mengenali keadaan masyarakat binaan, aspek geografi, demografi,, sejarah, latar belakang masyarakat, kondisi sosial, ekonomi, tamadun, budaya,dan adat-istiadat berbudi bahasa yang baik.

KHULASAH
Memerankan kembali organisasi informal, refungsionisasi peran alim ulama cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari” yang andal sebagai alat perjuangan dengan sistem komunikasi dan koor­dinasi antar organisasi di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan organisasi non‑formal secara jelas.
Dalam gerak “membangun nagari” maka setiap fungsionaris di nagari akan menjadi pengikat umat untuk membentuk jamaah (masyarakat) yang lebih kuat, se­hingga merupakan kekuatan sosial yang efektif.
Nagari semestinya berperan pula menjadi media pengembangan dan pemasyarakatan budaya Islami sesuai dengan adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah melalui efektifitas media pendidikan dalam pembinaan umat untuk mencapai derajat pribadi taqwa, serta merencanakan dan melaksanakan kegiatan dakwah Islamiyah.
Di nagari mestilah di lahirkan media pengembangan minat mengenai aspek kehidupan tertentu, ekonomi, sosial, budaya, dan politik dalam rangka mengembangkan tujuan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera.
Terakhir tentulah merupakan keharusan untuk dikembangkan dakwah yang sejuk, dakwah Rasulullah SAW dengan bil ihsan.
a. Prinsipnya jelas, tidak campur aduk (laa talbisul haq bil bathil).
b. Integrated , menyatu antara pemahaman dunia untuk akhirat, keduanya tidak boleh dipisah-pisah.
c. Belajar kepada sejarah, dan amatlah perlunya gerak dakwah yang terjalin dengan net work (ta’awunik) yang rapi (bin-nidzam), untuk penyadaran kembali (re-awakening) generasi Islam tentang peran Islam membentuk tatanan dunia yang baik. Insya Allah.

Spiritnya adalah;
1. Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah “Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito.”
2. Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) atau “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang”. Basalang tenggang, artinya saling meringankan dengan kesediaan memberikan pinjaman atau dukungan terhadap kehidupan dan “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.
3. Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak berarti berpindah tempat misalnnya anjak an buku tu berarti pindahkan buku itu.Anjak juga bisa disebut asak....(sinonim)', CAPTION, 'anjak',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();">anjak, Barubah ba-sapo”.
4. Keimanan yang kuat kepada Allah SWT sebagai pengikat spirit tersebut dengan menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak.
5. Mengenal alam keliling “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ”.*16
6. Kecintaan kenagari menjadi perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah . *17
7. Menjaga batas-batas patut dan pantas, jangan terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak.
Begitulah semestinya peranan alim ulama dan lembaga-lembaga dakwah dinagari-nagari yang ditata secara rapi dalam menapak alaf baru. Insya Allah. v

Footnotes:

1. Ditanamkan pentingnya kehati-hatian “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”. Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat walau dengan memakai cara yang amat sederhana sekalipun adalah "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, "Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta". (Hadist). Diperingatkan bahwa membiarkan diri hidup dalam kemiskinan dengan tidak berusaha adalah salah , "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)" (Hadist).

2. Penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninik mamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.

3. Bisa juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam. Gelaran ini lebih menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari).

4. Bisa saja terdiri dari anak nagari yang menjabat jabatan pemerintahan, para ilmuan, perguruan tinggi, hartawan, dermawan.

5. Para remaja, angkatan muda, yang dijuluki dengan nan capek kaki ringan tangan, nan ka disuruah di sarayo.

6. Kalangan ibu-ibu, yang sesungguhnya ditangan mereka terletak garis keturunan dalam sistim matrilinineal dan masih berlaku hingga saat ini.

7. Tawakkal, bukan "hanya menyerahkan nasib" dengan tidak berbuat apa-apa, "Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal" (Atsar dari Shahabat). Tak ada kebun tempat bertanam, tak ada pasar tempat berdagang. Tak kurang, setiap pagi terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore kembali dalam keadaan "kenyang". Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan. “Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada. Bila mengerjakan sesuatu tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

8. Kepala Pemerintahan Nagari (angku palo) dimasa penjajahan tidak jarang telah menjadi ujung tombak kekuasaan penjajah untuk menekan anak nagari. Bahkan sering pula terjadi bahwa kapala negari yang bersandar dengan besluit gubernemen disalah gunakan untuk kepentingan kekuasaan semata, maka akan terjadi sistim memerintah otoriter tanpa mengindahkan peran lembaga kerapatan negari (tungku tigo sajarangan). Lebih parah lagi kalau Kapalo Nagari adalah jabatan turun temurun yang diterima dan mesti berjalan, walaupun masyarakat nagari tidak berkenan menerimanya. Hal tersebut akan berdampak dikebirinya prinsip musyawarah (demokrasi), yang pada dasarnya prinsip musyawarah adalah pondasi mendasar dan utama dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

9. Sungguhpun berbeda, namun mereka dapat bersatu dalam satu kaedah hinggok mancangkam tabang basitumpu atau hinggok mencari suku dan tabang mencari ibu. Hiyu bali balanak bali, ikan panjang bali dahulu. Ibu cari dunsanak cari, induak samang cari dahulu.

10. Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja. Dek sakato mangkonyo ado, Dek sakutu mangkonyo maju, Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi. Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tetangga secara selfless help, dengan memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharapkan balas jasa. "Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi". (Q.S. Al Lail, 19 - 20). Walaupun didepan terpampang kendala-kendala, namun optimisme banagari mesti selalu dipelihara. alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik.

11. Memperkuat SDM bertujuan membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas yang tidak dapat ditolak dalam kembali kenagari dalam satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam iklim adat basandi syara' syara' basandi Kitabullah, "Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah berbuat baik terhadapmu sendiri (yakni berbuat baik tanpa harapkan balasan). (QS.28, Al Qashash : 77). Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan "nawaitu" dalam diri masing-masing. Untuk membina umat dalam masyarakat desa harus di ketahui pula kekuatan. Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo, Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo.

12. Karena ketiadaan pula mereka menjadi umpan dari satu perubahan berbalut westernisasi. Karena ketiadaan ilmu, dan bekalan iman jua agaknya mereka menjadi rapuh, dan terhempas di lamun ombak pemurtadan. Acap kali mereka, umat kita tersasar, sesat jalan, hanya karena kurangnya pemahaman terhadap agama. Karena ketiadaan. Itulah penyebabnya. Arus globalisasi yang bergerak deras itu telah menggeser pula pola hidup masyarakat dibidang ekonomi, perniagaan atau pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. Kehidupan sosial berteras kebersamaan bergeser menjadi individualis dan konsumeritis. Masing-masing berjuang memelihara kepentingan sendiri-sendiri, bernafsi-nafsi dan condong kepada melupakan nasib orang lain. Persaingan bebas tanpa kawalan akan bergerak kepada “yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan mati sendiri”, dan yang kuat akan menelan yang lemah di antara mereka".

13. ‘alaikum anfusakum, laa yadhurrukum man dhalla idzah-tadaitum (QS.5:105), wa man yusyrik billahi fa qad dhalla dhalaalan ba’idan (QS.4:116), fa dzalikumullahu rabbukumul-haqqu, fa madza ba’dal-haqqi illadh-dhalaal ? fa anna tushrafuun (QS.10, Yunus:32).

14. Lihat QS.9:122, supaya mendalami ilmu pengetahuan dan menyampaikan peringatan kepada umat supaya bisa menjaga diri (antisipatif).

15. Q.S 47;7, artinya, '' Jika Kamu Menolong ( Agama ) Allah, Niscaya Dia Akan Meno­long Kamu. Kemudian, "Kamu Hanya Akan Dapat Pertolongan Dari Allah Dengan (Menolong) Kaum Yang Lemah Diantara Kamu". (Al-Hadist).Suatu aturan menuruti Sunnah Rasul adalah, “Dan, Tiap‑Tiap Kamu Adalah Pemimpin, Dan Tiap‑Tiap Pemimpin Akan Di Minta Pertanggungan Jawab Atas Pimpinannya" (Al-Hadist). Jadinya, kewajiban kepemimpinan menjadi tanggung jawab setiap orang.

16. Alam ditengah-tengah mana manusia berada ini, tidak diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sia-sia. Di dalamnya terkandung faedah-faedah kekuatan, dan khasiat-khasiat yang diperlukan untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmani manusia. Manusia diharuskan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu, menikmatinya, sambil mensyukurinya, dan beribadah kepada Ilahi.

17. Bukti kecintaan kenagari ini banyak terbaca dalam ungkapan-ungkapan pepatah hujan ameh dirantau urang hujang batu dinagari awak, tatungkuik samo makan tanah tatilantang samo mahiruik ambun.

Tidak ada komentar: