Jumat, 28 November 2008

Posisi Dan Peranan Bapak Sebagai Kepala Keluarga Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau

Landasan pokok adat budaya Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, bermakna ada landasan budaya yang kuat, bersendi kepada agama (syara’). Maka, dalam diri orang Minang menyatu kedua nilai hakiki, adat dan syarak. Setiap orang Minang dituntut memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut dengan mentaati ajaran-ajaran agama Islam.
Pengamalan secara utuh dari adat, agama dan undang-undang, berpengaruh terhadap tatanan sosial. Tanpa ketiganya, kekacauan, keserakahan, kekerasan dan kejahatan dengan mudah akan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.
Seorang Minangkabau mesti beradat, berbudi dan beragama Islam. Ketika konsep adat budaya Minangkabau yang religius ini diamalkan dengan sesungguhnya, maka “ranah Minang” adalah nagari aman, damai, sejahtera lahir dan batin.

Minangkabau masa dahulu bisa dikatakan sangat teratur. Masuknya agama Islam ke ranah Minangkabau, tatanan adat istiadat disempurnakan dengan ajaran agama melalui penyesuaian-penyesuaian. Hal-hal yang bertentangan dengan Islam, dihapus dan tidak berlaku lagi. Dari sini lahir " adaik manurun agamo mandaki " dan "syarak mangato, adaik mamakaikan".
Secara fisik, ungkapan itu adalah adat berasal dari daerah daratan, kemudian menyebar ke kawasan pesisir. Sementara agama berasal dari pesisir dan dikembangkan kedaratan dan pedalaman Minangkabau.
Secara esensial, bahwa masyarakat Minangkabau rela menerima peran adat yang selalu menurun dan berkurang, sementara agama kian hari semakin dominan. Karena itu, berlaku kaidah ”adaik dipakai baru, kain dipakai usang”, satu kearifan adanya penjagaan nilai-nilai disetiap pergantian zaman dan musim.
Dalam masyarakat Indonesia ada struktur kemasyarakatan :

  1. Berdasarkan Matrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ibu, seperti di Minangkabau,
  2. Berdasarkan Patrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ayah, seperti di Tapanuli, Sumatera Utara, atau Batak,
  3. Berdasarkan Parental, yaitu melalui garis keturunan IBU dan AYAH (kedua-duanya), seperti di Jawa.

Masyarakat Hukum Adat Minangkabau
Masyarakat hukum adat dapat difahami melalui faktor teritorial dan faktor geneologis. Faktor teritorial terikat dengan suatu daerah tertentu. Faktor genealogis berdasar pertalian darah keturunan.
Orang Minangkabau, merasa terikat oleh satu keturunan yang ditarik menurut garis Ibu atau Perempuan.

  1. Kesatuan dasar keturunan itu disebut SUKU jang ditarik menurut garis keturunan perempuan atau Matrilinial.
    Hubungan kekerabatan matrilinial bersifat alamiah dan lebih awal munculnya dalam masyarakat dibanding tali kekerabatan lainnya.
    Sejak awal, anak-anak lebih mengenal Ibunya. Ibu melahirkan, mengurus, mengasuh dan ibu membesarkan anaknya. Ibu menjadi pendidik keluarga. lbu menentukan perkembangan keturunan. Melalui garis Ibu (perempuan) terjalin ikatan keluarga matrilinial.
  2. Peran ibu di Minangkabau ada dua ; pertama melanjutkan keberadaan suku dalam garis matrilineal, dan kedua menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Syara’ berlandaskan Kitabullah menempatkan perempuan pada posisi azwajan (mitra setara dan sederjat) dengan jenis laki‑laki sebagai pasangan hidup. Karena itu ibu menduduki peran sentral.
    Saat ini, tanggungjawab terhadap anak, dipastikan sepenuhnya telah berpindah ke tangan orang tua. Dominasi mamak beralih ke ayah khususnya, dan orang tua pada umumnya.
  3. Rumah tangga bagian terendah tata ruang masyarakat. Organisasi kekerabatan matrilinial Minangkabau dimulai dari Rumah Tangga yang dipimpin orang SUMANDO, artinya kekuasaan ada pada BAPAK.
    Anak Minangkabau punya nasab ayah, suku ibu, dan gelar mamak.
    ”Gala” adalah ”sako” dalam kaum atau suku.
    Orang Sumando mempunyai tugas berat,
    " mancari kato mufakaik, ma-nukuak mano nan kurang, mam-bilai mano nan senteng, ma-uleh sado nan singkek, Man-jinaki mano nan lia, ma-rapekkan mano nan ranggang, ma-nyalasai mano nan kusuik, ma-nyisik mano nan kurang, ma-lantai mano nan lapuak, mam-baharui mano nan usang".
    Idealnya urang sumando Minangkabau adalah urang sumando ninik mamak atau sumando mamak rumahImage
  4. Tali kekerabatan masyarakat Minangkabau yang kompleks selalu dijaga dengan baik. Seseorang dianggap ada, bila ia berhasil menjadi sosok yang diperlukan di kaumnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompoknya, bakorong bakampuang dan banagari.
  5. Keturunan matriliniel meluas jadi keluarga SAMANDE ditarik dari garis ibu. Anggota keluarga Samande menyadari bahwa mereka berasal dari satu rumah gadang dan dari saudara sama Ibu.
    Pimpinan dari keluarga Samande adalah MAMAK RUMAH. Tali kekerabatan dalam rumah gadang dari Samande dijaga oleh mamak. Peranan mamak masa dahulu amat dominan, ”Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mupakaik, Mupakaik barajo ka nan bana, Nan bana ba-diri sandirinyo”. Begitu terlihat jelas dalam rumah tangga di rumah gadang. Tanggung jawab mamak yang besar itu, sampai membuatkan rumah untuk kemenakan, jadi tanggungjawab mamak.
  6. Kekeluargaan matrilinial membentuk hubungan Saparuik dan Sajurai, yang dijaga oleh tungganai dan Tuo Kampuang.


Beberapa PARUIK membentuk KAUM dari garis keturunan ibu, dipimpin oleh PENGHULU KAUM, atau MAMAK KEPALA WARIS. Kumpulan beberapa KAUM membentuk kesatuan kerabat yang lebih besar, dinamakan SUKU, dipimpin oleh PENGHULU KAUM atau Penghulu Suku.
Kepemimpinan mamak menduduki jabatan penghulu di tengah kaumnya.
Penghulu, adalah pemuka masyarakat yang dipilih dan diangkat kaum. Mamak adalah pemegang tongkat penghulu yang dihormati kaumnya. Penghulu itu harus menjaga kehormatan.
Dia tidak boleh berbuat tidak baik. Malah, memanjat pohon untuk memetik buah-buahan tidak boleh dilakukan seorang penghulu. Dia akan menyuruh anak kemenakannya.
Dalam memimpin, penghulu mesti mampu berlaku adil dan bijaksana. ”tibo di paruik indak dikampihkan, tibo di mato indak dipiciangkan.”
Syarat utama pengangkatan seorang penghulu sangat berat.
Penghulu menjunjung gelar serta marwah anak kemenakan, korong kampung, kaum dan nagari.
Menjunjung gelar haruslah bertabur urai.
Maknanya berbuat untuk anak kemenakannya, karena hendak nama tinggalkan jasa.
Gelar penghulu tidak dapat dibagi-bagikan dengan mudah kepada sembarang pihak. Artinya, ”tantang rueh nan ba tuneh, tantang barih nan ba balabeh”.
Seorang yang menjabat ''penghulu” akan melaksanakan tugas diikat dengan sumpah ”ka ateh indak ba pucuak, ka bawah indak ba urek, di tangah di lariek kumbang”.
Mustahil, bila penghulu mendapatkan gelar lewat penganugerahan semata.
Ketika zaman berubah, "sakali aie gadang, sakali tapian baranjak" atau "sakali musim baganti, sakali zaman bakisa", peran dominasi mamak terhadap kemenakan mulai berkurang.
Pendidikan adat Minangkabau semestinya menyangkut kepada nilai-nilai adat itu. Sehingga upaya membentengi kemerosotan moral melalui nilai-nilai adat, mudah dilakukan.

Adat Minang mempunyai struktur yang jelas,

  1. Sistematika filosofi budaya Minangkabau, sahino samalu, sa iyo sa kato. Sistematika hukum adat Minangkabau, bajanjang naiek batanggo turun. Jenjangnya adalah tangga musyawarah.
  2. Dalam hal fungsi, ada hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam adat Minang.
    Secara filosofis, laki-laki dan perempuan punya fungsi sendiri pula
    Konsep Islam menempatkan manusia khalifah di muka bumi. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama pemimpin.
  3. Fungsi laki-laki (bapak dan mamak) serta perempuan (bundo kanduang pelanjut suku dan ibu pemimpin rumah tangga), sama pemimpin dalam fungsi, sah menurut syarak. Ideologi Minang sudah berjalan dan sudah ada, sahino samalu dan saling menghormati.
    Nan tuo dimulie kan, nan ketek di sayangi, samo gadang lawan ba iyo, sesuai kaedah syarak, menjadi adat yang diajarkan dalam menghormati orang tua (ibu,bapak).
  4. Ideologis Minangkabau adalah gabungan dari beberapa ideologi yang ideal bagi orang Minang sendiri. Adat Minangkabau mengakui persamaan gender sejak dulu. Masalah feminim sudah dikedepankan sejak lama, sebelum muncul dalam tataran global.
  5. Di masa lalu kekerabatan dapat dijaga oleh ninik mamak dibalut oleh sistem mata pencaharian yang sama.
    • Hubungan silaturahmi dalam kekerabatan adat memberi fungsi dan tugas dalam menata masyarakat banagari dan bakorong bakampuang, seperti Sumando, Mamak Rumah, Tungganai, Pangulu Suku, Andiko, Tuo Kampuang dan lainnya.
    • Hubungan kekerabatan di Minangkabau berlangsung secara harmonis dan dijaga dengan baik. Hal tersebut terjadi karena perasaan kekeluargaan dan perasaan semalu terjaga dalam hubungan keluarga dengan baik.
    • Seseorang akan dihargai oleh suku atau keluarganya apabila ia berhasil menyatu dengan kaumnya dan tidak membuat malu kaummya.

Menyigi matrilineal ini, maka tampaklah bahwa ;

  1. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang bukan Minang tidak mempunyai suku dalam adat Minangkabau.
  2. Untuk mendapatkan suku seseorang harus mempunyai prinsip hinggok mancangkam, lompek basitumpu, adat di isi limbago dituang pada sebuah suku oleh suatu nagari.
  3. Maka seorang perempuan yang menjadi menantu orang Minang biasanya diterima sebagai hinggok mancangkam, tabang basitumpu itu dalam suku lain, kecuali suku suaminya. Solusi ini telah berlaku sejak lama.
  4. Setelah diangkat sebagai anggota satu suku atau kemenakan dalam satu kaum, maka ia berhak mendapat gelar sako dari kaum itu. Keadaan seperti ini yang terjadi di daerah Sitiung atau Pasaman.
  5. Bergesernya pola keluarga kepada keluarga batih (keluarga kecil), maka fungsi sumando ninik mamak menjadi sangat luas.
  6. Gelar pusako, berkaitan dengan fungsi-fungsi yang ada dalam kaum, maka setiap kaum menentukan apakah gelar yang ada pada kaumnya dan terbatas itu, dapat ditambah asal tidak bertentangan dengan kaum lain, suku lain atau nagari lainnya
  7. Kawin sesuku, boleh atau tidak, sebenarnya dapat diatur dalam adat salingka nagari.

MEMPOSISIKAN PERANAN BAPAK, KEPALA KELUARGA DALAM MASYARAKAT ADAT MlNANGKABAU
Bapak atau ayah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, adalah ayah dari anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang diikat dengan satu perkawinan dalam ikatan ”rumah tangga”, artinya ayah biologis. Anak akan bernasab kepada ayah.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan dalam ikatan rumah tangga itu menurut hukum adat Minangkabau mengikuti garis keturunan Ibu mereka (matrilinial), karena masyarakat Minangkabau mengikuti sistem matrilinial, maka ANAK-ANAK bersuku (clan) kepada ibu.
Dalam tatanan global, suasana kebudayaan lebih didominasi oleh sistem patriaki
Setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) kini, hidup dalam Rumah sendiri masing­-masing. Keluarga atau rumah tangga Minangkabau sekarang, sama saja dengan keluarga di Batak ataupun di Jawa, hidup dalam rumah masing-masing secara mandiri.
Keluarga Minangkabau dengan garis keturunan matrilinial dan di Batak dengan garis keturunan patrilinial, atau Jawa dengan parental, kini, ke1uarga (ayah, ibu dan anak-anak mereka) itu, hidup otonom.

  1. Dalam adat Minangkabau ayah tidak hanya berperan sebagai ayah biologis, tapi juga sebagai ayah sosial. Kaum lelaki menjadi mamak dari kemenakannya, yakni anak-anak dari saudara perempuannya, disamping jadi ayah dari anak-anaknya.
  2. Sebagai mamak ia berkewajiban memperhatikan dan menjaga kemenakan dan sebagai ayah dari anak-anaknya. Dia wajib melindungi keduanya, sesuai fatwa adat anak di pangku kamanakan di bimbiang.
  3. Peran kaum lelaki menjadi berat. Tidak jarang, timbul pertentangan (paradoks) didalam menetapkan prioritas
    • Pada masa dahulu, sewaktu anak-anak dan ibu mereka masih hidup dan bertempat tinggal dalam Rumah Gadang, maka anak-anak mereka dibina oleh Mamak(dari garis keturunan ibu mereka). Ayah tidak banyak tinggal di rumah gadang itu.
    • Pada masa kini, setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) hidup secara tersendiri di rumah masing-masing. Tidak lagi dalam Rumah Gadang.
    • Ayah adalah Kepala Keluarga. Bertanggung jawab penuh terhadap istri dan anak-anak mereka.
  4. Laki-laki Minangkabau harus berperan sebagai ayah terhadap anak sejak berusia dini, dan teguh memperhatikan kemenakannya. Peranan laki-laki Minangkabau sebagai Bapak (ayah) dari anak-anak mereka adalah sebagai Kepala Keluarga.
    • Fakta menunjukkan, bahwa pelaksanaan ajaran agama sudah menjadi lebih dominan daripada ketentuan adat.
    • Bila ditilik menurut agama Islam, tanggung jawab mendidik anak itu berada di tangan orang tua. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran syarak atau agama Islam.
    • Harta pencaharian, baik harta pencaharian dari ayah ataupun dari ibu, kesemuanya dinikmati secara bersama-sama.
    • Peranan AYAH, sebagai kepala keluarga, baik di Minangkabau, di Batak ataupun di Jawa, ketiga-tiganya saat sekarang sama saja, sebagai Kepala Keluarga, yang mengayomi istri dan anak-anaknya.
  5. Laki-laki Minangkabau berperan sebagai Mamak. Dalam hal tertentu, seperti masalah perkawinan kemenakan mereka, tetap memerlukan izin dari mamak mereka.
  6. Mamak dari anak-anak mereka hidup terpisah. Mamak hidup dalam rumah tangganya tersendiri, bersama istri dan anak-anaknya. sendiri. Anak-anak mengikuti perintah MAMAK menurut garis keturunan Ibu mereka;
    • Dalam tata cara adat Minangkabau jika anak-anak tersebut kelak akan melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus mendapat persetujuan dari MAMAK mereka dari garis keturunan ibu mereka dalam adat istiadat.
    • Yang disebut mamak dari anak-anak adalah saudara laki-laki dari ibu mereka, bukan saudara laki-laki dari garis keturunan AYAH mereka.
    • Anak (yang menjadi kemenakan dari mamaknya) menurunkan gelar dari mamak sebagai sako dari suku mereka.Disini terlihat keistimewaan turunan Minangkabau sekarang.
    • Untuk menempatkan sistim matrilineal dalam tatanan global tidak mungkin merubah substansinya, karena sudah merupakan identitas Minangkabau.
  7. Mamak mereka tetap mengawasi harta Pusako Tinggi, sesuai dengan sistem matrilineal.
    • Ketika anak-anaknya telah berusia cukup, dia wajib memperhatikan kemenakannya dalam memberikan arahan atau bahkan mencarikan jodoh bagi kemenakannya.
    • “Anak dipangku kemenakan dibimbing”, memperlihatkan dua peran dari laki-laki Minang yaitu sebagai ayah dan sebagai mamak.
    • Masalah dalam pemeranan peran ganda laki-laki Minang, adalah faktor keterbatasan ekonomi. Satu solusinya adalah marantau untuk mengatasi keterbatasan ekonomi tersebut.
  8. Bila dilihat Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau itu memberikan beberapa pengaturan sesuai langgo langgi yang ada,
    1. Pengaturan Harato Pusako, Sako, Pusako di Minangkabau dan harta waris dikenal ada harta waris pusako tinggi, dan harta waris pusako randah.
      • Harta waris pusako tinggi diatur menurut garis keturunan ibu.
      • Harta waris pusako randah adalah harta waris perolehan selama perkawinan ayah dan ibu (suami dan istri), dibagi menurut faraid.
      • Demikian pula di Batak, harta waris mengikuti garis keturunan ayah, dan dikenal pula harta waris pusako randah, yaitu yang diperoleh selama hidup bersama (selama masa perkawinan antara ayah dan ibu).
      • Sedangkan di Jawa, semua harta waris, tetap diterima oleh keturunannya, baik yang laki-laki, maupun yang perempuan (sesuai sistem parental). Jadi harta warisan yang diterima dari Ibu ataupun dari Ayah, tetap akan diwariskan kepada anak-anaknya, baik yang laki-laki, maupun perempuan.
    2. Peran Laki-Laki, di didalam Kaum sebagai Kemenakan, sebagai Mamak dan sebagai Penghulu.
    3. C. Peran Laki-Laki di luar Kaum atau Persukuan, adalah sebagai Sumando dan kaum dari Persukuan.
    4. Peran dan Kedudukan Perempuan diatur didalam keluarga kaumnya dan didalam keluarga batih dengan suami dan anak turunannya.

Peran perempuan menurut agama dan adat.
Agama Islam dan adat Minangkabau tidak melarang perempuan berperan diluar lingkungan domestik. Perannya itu tidak boleh meninggalkan peran-peran esensi melahirkan dan mendidik anak sebagai ibu rumah tangga. Allah SWT telah menciptakan dan menyediakan semua keperluan kita. Allah SWT memberi pula alat dan daya untuk mendukung usaha hidup kita dengan hak dan kewajiban. Kaum lelaki bukan diktator. Maka, tanggung jawab lelaki sebagai suami (semenda dan mamak) menurut Al Quran sangat berat, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ = Lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan … (QS. an-Nisa’:34).
Perannya tidak boleh merendahkan harkat dan martabat wanita Minang yang hidup dalam ajaran agama Islam.

  • Sistem matrilineal dapat menjadi sebuah tataran konseptual bagi kebudayaan di luar Minangkabau, khususnya kebudayaan kontemporer yang menyatakan persoalan gender. Gender didominasi oleh ideologi liberalis dan kapitalis.
  • Mekanisme kontrol, check and balance, dalam matrilineal di Minangkabau terdapat dalam bentuk sistem, bukan lembaga seperti yang ada dalam negara atau pemerintahan.
  • Di era modernisasi dan perkembangan zaman/globalisasi yang secara konsep adat Minangkabau pada prinsipnya dapat tetap dipertahankan keberadaannya. Walaupun akan terjadi perubahan, bukannya terhadap hal-hal yang terkait esensi. Artinya kita tidak boleh menutup mata terhadap perubahan tersebut.
  • Dengan telah terjadinya pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, pada satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya mamak dalam keluarga kaumnya. Akibat terjadinya perubahan fungsi dan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, akan berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.
  • Mekanisme dan penerapan sistem matrilineal pada hakekatnya hanyalah merupakan persoalan perkauman, hubungan ninik mamak dengan kemenakan, hubungan sumando-manyumando.
    Perempuan Minangkabau mulia, memiliki kebesaran dan bertuah. Katanya didengar anak cucu. Dari turunannya diangkat para penghulu dan ninik mamak. Jika masih hidup tempat berniat. Ketika sudah mati tempat bernazar, jadi payung panji ke sorga, sesuai ajaran syarak,"sorga terletak dibawah telapak kaki ibu" (al Hadist).

Hal ini memperlihatkan dengan jelas kokohnya kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi sentral. Perempuan Minang, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum.
Didalam mengembangkan karier dan profesinya perempuan Minangkabau dianjurkan berjuang mempengaruhi lingkungan profesi baru itu dengan nilai-nilai keminangkabauan dan keislaman.

  • Seorang ibu Minangkabau seyogyanya menguasai terminologi hubungan kekerabatan Minangkabau, walaupun ia hidup dalam keluarga batih, sehingga nilai-nilai yang biasa berlaku dalam masyarakat Minangkabau secara umum dapat diteruskan kepada anak-anaknya.
  • Perlu dipikirkan kembali pemberian sebutan rangkayo bagi perempuan Minang yang sudah bersuami. Dalam sebutan perempuan Minangkabau dihindarkan membawa gelar adat suami sebab jelas itu milik suku lain.


Ungkapan mandeh dan bundo yang dilekatkan kepada perempuan Minangkabau, menempatkan laki­-laki (suami) pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan dan anak turunan. Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab kepada ayah (laki-laki), bersuku kepada ibu, bergelar dari mamaknya (garis matrilineal).

Beberapa permasalahan saat sekarang ini.

    1. Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Minang, terutama dalam hal perubahan dimana si anak tidak mengenal siapa mamaknya dan dimana kampungnya, sehingga mamak tidak mengenal kemenakan dan sebaliknya.
    2. Permasalahan juga terjadi ketika perempuan Minang menikah dengan non Minang, seringkali anak turunannya beranggapan bukan bergaris matrilineal lagi. Padahal dalam hukum adat Minangkabau anak turunan tersebut masih bersuku kepada ibunya. Solusi bagi masalah ini, adalah meningkatkan kembali sistem pendidikan di keluarga. Keluarga harus menjadi suatu sistem pendidikan dini bagi anak yang akan menjelang dewasa, disamping wadah untuk menjelaskan hubungan kekerabatan sesuai adat yang berlaku.
    3. Permasalahan yang banyak terjadi, mamak tidak kenal kemenakan dan begitu pula sebaliknya. Mengatasi ini;
      • Perlu sosialisasi adat dan hubungan kekerabatan ini lewat pendidikan formal ataupun nonformal.
      • Perlu kembali pengajaran adat melalui suku.
      • Dimulai dari dalam keluarga mengajarkan adat istiadat dan hubungan kekerabatan dan juga penggunaan bahasa ibu.
      • Dalam sosialisasi pendidikan adat istiadat, diberikan dalam berbagai bentuk ; kesenian, diskusi keluarga, sehingga nilai-nilai budaya Minang tersebut dapat tersampaikan.
      • Terjadi perubahan struktur keluarga dalam sistem matrilineal bila ditinjau dari sudut agama, perkembangan zaman dan adat dipakai baru, kain dipakai usang.

9. Tanah Pusako Tinggi adalah tanah yang dimiliki oleh Kaum, yang merupakan milik bersama dari seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun, yang pengawasannya berada di tangan MAMAK KEPALA KAUM.
Tanah Pusako Randah, adalah harta yang diperoleh seseorang atau suatu/sebuah paruik berdasarkan pemberian atau hibah, maupun yang dipunyai oleh suatu keluarga berdasarkan pencahariannya, pembelian, ”taruko” dan sebagainya. Pada waktu ini tanah ulayat nagari, maupun tanah ulayat suku, di beberapa nagari sudah hampir tidak ditemukan lagi, karena "pudar" dilanda perkembangan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi.

Problema Masyarakat Adat Budaya Minangkabau

  1. Permasalahan besar orang Minang kini, adalah kaburnya jati diri. Seringkali orang Minang, tidak lagi bangga menjadi orang Minang.
    Walau sejarah telah mencatat, bahwa Minangkabau adalah suatu suku bangsa yang terkenal menonjol dalam mobilitas yang tinggi serta sering menjadi pelopor. Keberhasilan orang Minang dalam berbagai bidang membuktikan hal ini pada masa lalu.
    Kepeloporan, mesti diraih masa ini dan dipertahankan masa datang.
  2. Orang Minangkabau banyak yang merantau.
    Di rantau kehidupannya sama dengan kehidupan orang lain. Ada satu kebanggaan dalam dirinya.
    Kampung halamannya tetap menghimbaunya pulang.
  3. Pertanyaan orang Minang tentang adat Minangkabau.
    Banyak orang rantau Minangkabau bertanya mengapa orang Minang tidak menurunkan pusako kepada anaknya, sesuai dengan hukum Islam? Mengapa diturunkan kepada kemenakan atau anak saudara-saudara perempuannya?
    „« Perlu ada sosialisai pemahaman tentang budaya Minangkabau yang menggugah masyarakat Minang agar peduli dengan adat dan budaya Minangkabau,
    „« Menggali dan memahami nilai-nilai luhur adat budaya Minangkabau,
  4. Ada dua faktor perlu dicermati di tengah perkembangan sekarang :
    • Faktor internal ;
      • Orang Minangkabau kurang memahami adat dan budaya Minang. Tidak ada tokoh nasional yang berkelanjutan, yang ada sekarang kurang visioner.
      • Kualitas SDM pemangku adat lemah. Kurang peduli sesama. Ajaran syarak tidak dilaksanakan,
      • Sumber mata pencarian para pemuka adat (kebutuhan hidup) terbatas.
    • Faktor eksternal
      • Pengaruh budaya asing. Karena tidak kuatnya syarak dalam perlakuan adat, maka jalan di alieh urang lalu.
      • Pengaruh teknologi yang salah terapan. Informasi dan komunikasi tak ada saringan. Pengaruh materialisme,
      • Pengaruh pergaulan antar masyarakat.

Mengantisipasi kedua faktor ini perlu mengingatkan kembali masyarakat Minang kepada landasan filosofi budaya Minang, yaitu adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Menghidupkan Adat dan Syarak di Minangkabau.

  1. Introspeksi diri dari semua warga dan semua tingkat dan kedudukan tentang perlunya memelihara nilai-nilai budaya kekerabatan yang ada, dan merumuskan nilai-nilai tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dihayati dan diamalkan.
  2. Bagaimanapun, dalam merumuskan nilai-nilai tersebut kita harus realistis menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga disana sini perlu ada penyesuaian, misalnya dalam menghadapi perkawinan antar suku bangsa, sepanjang tidak merusak sendi-sendi budaya tersebut.
  3. Membiasakan dalam lingkungan keluarga menjalankan nilai-nilai dan aturan-aturan kekerabatan itu. Bertingkah laku sesuai dengan status dalam kekerabatan, mamak sebagai mamak, kemenakan sebagai kemenakan, ibu sebagai ibu, ayah sebagai ayah, dan seterusnya. Membiasakan bahasa Minang dalam keluarga. Strategi pewarisan atau sosialisasi pengetahuan dan nilai budaya Minangkabau melalui ” Batunjuak baajari ” oleh orang tua kepada anak atau dari mamak kepada kemanakan.
  4. Ada beberapa pegangan yang harus dijaga dengan baik untuk melaksanakan syarak dan adat dalam budaya Minangbkabau itu, antara lain ;
    • Harato pusako tinggi yang diamanahkan dari ninik turun kemamak, dari mamak turun kekemenakan, tidak boleh diperjualbelikan atau keluar dari suku. Dalam keadaan khusus, seperti ditemukan potensi kekayaan alam yang tinggi, maka hasil pengolahannya dikembalikan kepada kaum, artinya jika digunakan untuk kepentingan komersial, maka harus ada manfaatnya bagi kaum. Harato pusako tinggi ini digunakan sesuai Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur akan hal ini.
    • Pusako boleh digadai dengan 4 syarat, jika terjadi
      1. rumah gadang katirisan,
      2. maik tabujua ditangah rumah,
      3. gadih gadang indak balaki,
      4. Malu nan tacoreang di kaniang.
    • Harato pusako randah diwariskan sesuai dengan aturan pewarisan hukum Islam.
    • Kurangnya pemahaman adat dan syarak dari datuk penghulu. Banyaknya sikap apatis orang Minang terhadap adatnya.
    • Manajemen kepenghuluan mamak dalam kaum, kurangnya wibawa ninik Mamak dalam kaum.

Kesimpulan

    1. Bapak sebagai Kepala Keluarga dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, berperan sebagai Kepala Keluarga yakni Kepala Rumah Tangga, sebagai pembina dan pengayom isteri dan anak-anak mereka.
    2. Laki-laki Minangkabau berperan ganda. Sebagai Bapak dan Mamak. Dalam posisi sebagai Mamak, berperan da1am hukum adat Minangkabau sebagaimana telah berlaku selama ini, khususnya dalam memelihara, mengatur Harta Pusako Tinggi, yang masih tetap berlaku di dalam Masyarakat hukum adat Minangkabau.
    3. Sistem Matrilineal di Minangkabau di era modern sesuai perkembangan zaman secara konsep dan prinsip dapat dipertahankan keberadaannya. Walaupun terjadi perubahan, bukan terhadap hal-hal yang terkait esensi. Perubahan tetap ada. Pengamatan menyatakan, telah terjadi pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, dalam fakta mengarah kepada patriarki. Keadaan ini, satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya lagi mamak dalam keluarga kaumnya.
      Terjadinya perubahan fungsi ini dan pergeseran kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, tentu sangat berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.
    4. Karena itu, peran orang tua sangat menentukan di dalam memberikan uswah dan laku perangai yang mencerminkan watak, sifat fisik, kognitif, emosi, sosial dan rohani dengan kesalehan sosial dalam masyarakat adat di Minangkabau.
    5. Perlu dilakukan berapa tindakan, antara lain ;
      1. Penguatan Ikatan Keluarga Minangkabau sebagai sistem
        (a) Keluarga harus dilihat sebagai suatu sistem yang tidak terpisah satu sama lain, dan harus dapat memahami keberadaan anggota keluarga lainnya.
        (b) Adanya kecintaan di antara sesama anggota keluarga sehingga lahir sikap dalam membela kepentingan keluarga yang lainnya, sahino samalu, seiya sakata.
        (c) Adanya kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan dan masalah yang muncul dalam keluarga, sehingga terwujud kebahagiaan keluarga.
      2. Penguatan struktur dan fungsi keluarga
        a) Fungsi Pengasuhan
        1) Ayah sebagai kepala keluarga, bila tidak ada ayah, ibu yang berperan sebagai kepala keluarga.
        2) Kesepakatan pengasuhan anak, sebagai kekuatan adat Minangkabau “anak di pangku kamanakan di bimbiang” terlaksana dalam hubungan pengasuhan modern.
      3. Sikap dan tindakan orang tua dalam pembentukan pola perilaku generasi ( melindungi, memberikan kebebasan, mengembangkan cita dan keinginan anak turunan, menyayangi anak dan kemauan mendengar keluhan generasi), akan melahirkan kebersamaan mengatasi masalah antar generasi Minangkabau.
        b) Fungsi Sosialisasi
        1) Membangun komunikasi yang efektif seharusnya terjadi dalam keluarga, sehingga terjadi pemberian peran dan tanggung jawab pengayoman dari mamak kepada kemenakan secara turun temurun.
        2) Penghargaan terhadap sesuatu yang bernilai kepada anak dan kemenakan dalam membangun kerja sama dan keakraban sesama anak dan kemenakan.
        3) Pemeliharaan rasa saling mengasihi/menghormati dalam keluarga oleh setiap orang tua Minangkabau menunjukkan sikap keteladanan dalam keluarga.
        d) Fungsi Kasih Sayang
        1) Kewajiban ayah dan ibu memberikan kasih sayang kepada anaknya.
        2) Kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak
        3) Perhatian terhadap anggota keluarga pada saat-saat khusus dan saat mengalami kesedihan, tibo di baiek baimbauan, tibo di buruak ba ambauan
      4. Fungsi Ekonomi
        (1) Ada tanggung jawab mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
        (2) Ada keharusan berperan bersama dalam keluarga sehingga kebutuhan sehari-hari terpenuhi.
        (3) Ayah bunda berperan menjadi tulang punggung penghidupan atau penghasilan bagi keluarga.
        3) Pengembangan Komunikasi antara Keluarga
        (a) Menjaga hubungan atau interaksi antara keluarga, barek sapikua ringan sejinjing.
        (b) Menjaga kebersamaan keluarga dalam melaksanakan ibadah keluarga serta dalam mengatasi masalah.
        (c) Menjaga kesediaan mendengarkan keluhan dan mendorong kemauan anggota keluarga ke arah yang positif sebagai mengawali komunikasi antar keluarga.
        Persaudaraan tidak mungkin dapat tumbuh dengan penolakan hak-hak individu rakyat banyak. Ketamakan serta penindasan akan mempertajam permusuhan antar kelompok masyarakat. Maka, generasi Minangkabau yang juga adalah seorang muslim yang baik sudah semestinya mengamalkan akhlak karimah yang standar secara profesional dengan kemauan dari dalam diri. Kemudian dihayati menjadi etika sesuai yang diajarkan oleh adat Minangkabau, sebagai pengamalan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
        Wassalam.

Senin, 24 November 2008

Pemesraan Antara Bahasa Dan Kepercayaan Orang Minangkabau

Masyarakat Minangkabau adalah salah satu suku bangsa di antara puluhan suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia.
Masyarakat Minangkabau hidup di sekitar wilayah Sumatera Bagian Tengah, atau yang dalam Tambo Minangkabau disebutkan perbatasan wilayah Minangkabau itu dikisahkan, “… dari Sikilang aia Bangih sampai ka Taratak Aia Itam. Dari Sipisok-pisok pisau anyuik sampai ka Sialang Balantak basi. Dari Riak nan Badabua sampai ke Durian ditakiak Rajo”, (artinya, dari Sikilang Air Bangis sampai ke Taratak Air Hitam, dari Sipisok-pisok Pisau Hanyut sampai ke Sialang Belantak Besi, dari Riak yang berdebur sampai ke Durian Ditekuk Raja).
.

Orang Minangkabau menamakan tumpah darahnya dengan Alam Minangkabau, yang secara geografis berarti juga wilayahnya itu berpusat di selingkar Gunung Merapi, di Sumatera Barat. Wilayah itu meluas menjadi Luhak dan Rantau.

Wilayah Luhak terletak di nagari-nagari yang berada di sekitar Gunung Merapi, sedangkan wilayah Rantau berada di luarnya, yaitu di sekitar wilayah pantai bagian Barat dan Timur Minangkabau.
Dalam Tambo dikisahkan pula bahwa Alam Minangkabau mempunyai tiga buah Luhak yang lazim disebut dengan Luhak Nan Tigo (Luhak yang Tiga). Terbagi kepada Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Dari Luhak tersebut, kemudian berkembang menjadi Luhak Kubang Tigobaleh, yang terletak di sekitar Gunung Talang, Kabupaten Solok sekarang.
Wilayah Rantau terletak di luar Luhak-luhak tadi. Semula rantau adalah tempat mencarikan hidup para penduduk, terutama dalam bidang perdagangan.
Wilayah rantau, berubah menjadi tempat menetap turun temurun. Terjadilah pembauran dan pemesraan (asimilasi) antara nan datang mencengkam hinggap bersitumpu. Berkembang menjadi bagian dari pusat pemerintahan di Minangkabau dulu, yakni Kerajaan Pagaruyuang, yang mempunyai Basa Ampek Balai, berninik bermamak, berdatuk dan berpenghulu. Berlakukah pula di wilayah rantau itu, adat istiadat Minangkabau.
MINANGKABAU DAN NILAI KEKERABATAN
Dari sisi istilah Minangkabau malah lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan dengan masyarakatnya yang berstatus matrilineal – atau keturunan menurut garis keibuan Hubungan kekerabatan ini, adalah perpaduan dan pemesraan antara istiadat (urf) dan syariat agama Islam.
Garis matrilineal yang dianut adalah, bahwa anak yang dilahirkan bernasab kepada ayahnya, bersuku kepada ibunya, dan bersako terhadap mamaknya). Hubungan kekerabatan seperti ini, mungkin tidak ada duanya di Indonesia. Nilainya mengutamakan kebersamaan.
Sistem matrilineal yang paling nyata, telah menarik para pakar ilmu sosial, di dalam negeri dan dari luar negeri. Sistim kekerabatan Minangkabau satu hal yang nyata, dan masih berlaku, walau perubahan terjadi di masa global ini.
Kekuatan yang mengikat sistim kekerabatan Minangkabau, terlihat dari berbagai arah dan sudut pandang. Berpengaruh pada semua sisi kehidupan masyarakat Minangkabau.
Kekuatan kekerabatan itu misalnya, berpengaruh kuat di aspek jiwa dagang masyarakatnya, mobilitas penduduknya, dengan kesukaan merantau ke negeri lain untuk mencari ilmu, mencari rezeki. Sistim kekerabatan sedemikian itu pula, yang telah mendorong lajunya mobilitas horizontal dalam bentuk imigrasi, dan mobilitas vertical yang menuju kepada peningkatan kualitas.
Dalam kaitan dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan.
Dapat saja berupa dikucilkan dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.
Masuknya budaya luar, baik melalui sistem pemerintahan dan usaha-usaha kehidupan, tentang perdagangan, tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, negeri atau swasta, atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus dapat mengubah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau.
Semula, semua turunan berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri.
Pada akhirnya, kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya, di dalam kaitan adat budaya Minangkabau, tidak sama lagi dengan sebelumnya.
Peranan dan tanggung jawab seorang suami kepada anak-isterinya, juga mengalami pergeseran tajam. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya, hamper bahkan sudah sepenuhnya mengurusi kepentingan keluarga batihnya saja. Kekerabatan di masa lalu, seperti sibuk mengurus sawah ladang kaum dari orang tuanya, sudah tidak diperlukan lagi.
Harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku-tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing. Perubahan-perubahan demikian, sekaligus merombak beberapa sisi beban tanggung jawab, yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan, berpindah ke pikulan ayah bunda.
Sedikit atau banyak perubahan yang tumbuh tersebab pola kehidupan ini. Peran suami dari para kemenakan, atau yang disebut urang sumando di Minangkabau, menjadi lebih dominan. Sepanjang urang sumando atau suami dari para kemenakan, masih perlu dihormati di kaumnya, jaringan kekerabatan semula tidak akan mengalami gangguan. Dia masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan. Kebersamaan dalam kekerabatan akan kuat di kala tertanam rasa malu, berbasa-basi, berbahasa yang indah, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah.
Perilaku nafsi-nafsi atau individualistis dan berperangai nan ka lamak di awak surang secara materialisasi, sudah tampak mengedepan. Makin kuat bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti atau keluarga batih. Ketika itu, sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum. Maka kebersamaan mulai meredup.
Sistim kekerabatan bersuku ke ibu, termasuk juga menjadi pagar bagi tidak terjadinya kawin sesuku. Sudah berkali-kali kasus perkawinan dari yang bersanak ibu yakni yang ibu mereka bersaudara handling, dari salah satu nagari di Luhak, meskipun kejadiannya di rantau.
Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini di antara mereka yang sekaum sepusaka.
Agama Islam juga tidak membolehkan sesuatu, yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.
Selain itu, ada beberapa istilah yang perlu diperbaiki pemahamannya dalam perilaku. Seumpama sebutan: kok indak ameh di pinggang – dunsanak jadi urang lain. Ini adalah sepenggal contoh pepatah bernuansa sarkatis.
Betapa akibatnya, bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya), seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya, dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sikap yang dimuat pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.
Secara prinsip, agama Islam menganut juga sikap demikian. Pelajari dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban zakat menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim. Tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan, sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal.
Bila perilaku syarak dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka mereka yang membayar zakat saja yang boleh disebut Muslim. Perlu disimak lebih dalam. Adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Bagi yang belum mampu secara objektif, berhak menerima zakat sebagai dhuafak, fakir atau miskin.
Dipahamkan dari sini, bahwa rukun zakat adalah pendorong membentuk sikap individu giat berusaha, mampu membayar zakat, dan mencegah Muslim jadi pengemis.
Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri.
Adat Minangkabau mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun, bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat tetap terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya ketentuan adat tidak pernah membatasi.
Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao atau harta bawaan, yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga. Pengolahan dan pemanfaatan tanah ulayat kaum, sesuai hukum dalam Islam.
JALINAN BAHASA DAN KEPERCAYAAN DI MINANGKABAU
Dari sudut kebudayaan, dan berbagai sisi hubungan dan perilaku, terbentuk kaitan jalin berkelindan hubungan Bahasa dan Kepercayaan orang Minangkabau.
Pembauran dengan makna asimilasi adalah pemesraan antara dua unsur atau lebih dalam suatu wadah tertentu. Unsur yang satu menjadi bagian dari unsur yang lain, demikian pula sebaliknya. Salah satu yang membentuk pemesraan itu adalah bahasa dan kepercayaan dalam wadah kesusastraan di Minangkabau.
Penjiwaan dari kehidupan keseharian masyarakat Minangkabau, terasa ada asimilasi, atau pemesraan antara Bahasa dan Kepercayaan rakyat di Minangkabau. Perasaan itu terbawa kemana saja. Ada di ranah, dan terpakai di rantau. Di mana bumi dipijak di sana adat dipakai. Kaidah hidup ini, sesungguhnya satu keniscayaan yang lahir dari keyakinan. Sebagai generasi berbudaya Minangkabau, di mana saja.
Kata kepercayaan berasal dari "percaya" (Sanskerta) yang berarti pendapat, itikad, kepastian dan keyakinan. Istilah lain yang hampir sama dengan kepercayaan adalah "keyakinan" yang secara etimologi berasal dari kata "yaqin" (Arab).
Sungguhpun antara istilah kepercayaan dan keyakinan mempunyai perbedaan. Kepercayaan diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh pikiran. Keyakinan adalah suatu kebenaran yang diperoleh jiwa, dikuatkan oleh pikiran. Kebenaran agama adalah keyakinan. Selanjutnya, kebenaran ilmu pengetahuan, filsafat dan intelektual adalah kepercayaan.
Kepercayaan bermula dalam tingkat penerimaan dari ilmu pengetahuan. Keyakinan berada pada taraf intensitas dari kepercayaan. Keyakinan telah meminta keharusan untuk melakukan aktivitas. Sedangkan kepercayaan belum mempunyai keharusan untuk itu.
Kepercayaan seseorang kepada hal-hal yang berada di luar dirinya, di luar penghayatan lahiriahnya, diyakini menjadi suatu materi atau keadaan yang mempengaruhi kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan kepercayaan yang akan berasimilasi dengan bahasa dalam kesusastraan Minangkabau.
Pemesraan antara bahasa dan kepercayaan, telah memperkaya Kesusastraan Minangkabau, terutama kesusastraan lama atau khazanah kesusastraan lisannya.
Kata kesusastraan berasal dari anggapan kata dasar "susastra" yang sebenarnya telah mengalami peristiwa affiksasi dalam bahasa aslinya (Sanskerta), yaitu kata "sastra" mendapat prefik "su". Jadi kata bentukan "susastra" telah mendapat imbuhan "ke + su", dalam bahasa kita.
Kata "sastra" menurut aslinya berarti ilmu pengetahuan atau buku pelajaran. Namun, dapat pula diartikan orang sebagai "tulisan" atau "bahasa". Kita sudah memahami, bahwa kata "su" adalah prefik sifat yang berarti indah atau bagus.
Kesusastraan adalah hasil bahasa yang indah. Dengan demikian, kesusastraan Minangkabau sesungguhnya mempunyai pengertian yang dalam, yaitu "hasil bahasa Minangkabau yang indah". Dalam perilaku Minangkabau disebutkan, “nan kuriek kundi, nan sirah sago, nan baiek budi, nan indah baso”.
Sungguhpun titik berat kesusastraan Minangkabau bersifat lisan, seperti yang terungkap dalam puisi dan prosa berirama, namun tidak sedikit pula yang telah ditulis dalam tulisan-tulisan lama, dengan memakai huruf arab melayu. Sehingga pemakaian huruf hijaiyah tersebut dalam mengungkapkan kosa kata melayu, adalah bagian dari pemesraan antara bahasa dan kepercayaan masyarakat Minangkabau, terhadap kekuasaan di luar lahiriahnya, dalam hasil sastranya yang bersifat tulisan.
Kesusastraan tidak hanya sekadar hasil seni bahasa belaka. Kesusateraan adalah juga hasil pemikiran, hasil pengalaman, hasil merasa, bahkan hasil dari kehidupan seseorang atau masyarakat dan lingkungannya. Melalui hasil sastra dapat disimak kehidupan masyarakat pada suatu waktu, dan kebudayaan satu suku bangsa atau suatu bangsa.
Salah satu aspek yang amat memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat itu adalah hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan Penciptanya. Pencipta yang Maha Khalik adalah yang berkuasa di luar lahiriah kehidupan masyarakat itu. Hubungan-hubungan itu terlihat juga dalam kesusastraan.
Kesusasteraan Minangkabau juga memberi jawaban pengaruh hubungan itu. Seperti tersua dalam ungkapan,
“ Kanan jalan ka Kurai, sasimpang jalan ka Ampek Angkek.
Kok iyo pangulu ganti lantai, kok bapijak jan manjongkek.
adaik taluak timbunan kapa, Adaik lurah timbunan aie.
Kok bukik timbunan angin, biaso gunuang timbunan kabuik.
Adaik pamimpin tahan upek.”
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, selalu diperhatikan antara dua kekuatan, yang satu secara lahiriah sikap dalam diri insan bernyawa, dan yang kedua adalah kekuatan keyakinan theis (agama) yang mengatur nyawa itu.
Kesusastraan lahir dan dibentuk oleh kedua unsur itu, yaitu unsur nyawa yang memiliki rasa dan periksa, dan unsur agama yang membimbing rasa dan periksa itu. Budaya kehidupan yang dibimbing oleh keyakinan agama, melahirkan sikap malu. Budaya malu, membentuk masyarakatnya hidup dengan kehati-hatian, serta ingat dan hemat dalam bertindak. Selanjutnya sikap-sikap budaya sedemikianlah yang menumbuhkan dinamika dalam kehidupan.
Kesusastraan yang kehilangan hakekatnya sebagai kerja makhluk yang mempunyai akal dan rasa, seharusnya menjadi alat penghubung yang mesra dengan keredhaan Khaliknya. Keindahan akan tercipta, ketika hasrat timbul untuk mengembalikan keindahan yang abadi dengan ajaran agama dan keagungan nama Ilahi, ke dalam bentuk-bentuk karya sastra.
Asimilasi antara bahasa dan kepercayaan dalam kesusastraan Minangkabau terasa kental sekali. Mempersoalkan hubungan yang mesra antara bahasa sastra dan kepercayaan kepada yang Gaib, yakni kekuasaan Allah Subhanu wa Ta’ala, menjadikan karya sastra itu indah abadi.
Perlu rasanya kembali menggali mutiara milik bangsa, yang memiliki kekayaan pemesraan. Kebudayaan bangsa Indonesia yang bersifat kebhinekaan suku-suku bangsa, amat memerlukan pemesraan antara agama dan adat istiadat etnik, yang akan memperkuat ke tunggal-ikaan kebudayaan bangsa Indonesia.
Di antara mutiara terpendam yang dapat diselami adalah bahwa kesusastraan yang hakiki membentuk kepribadian satu bangsa, amat terkait dengan keyakinan pencipta sastra dan pendukungnya Keduanya adalah makhluk bernyawa yang mengabdi kepada Ilahi.
Kesusastraan Minangkabau terdapat pengasimilasian antara bahasa dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan satu ungkapan, adaik basandi syarak, yang telah menyumbangkan kemajuan di masa lalu, dan menjadi kekuatan besar untuk meraih keberhasilan masa depan.
Dalam kesusastraan Minangkabau pengasimilasian itu sudah berhasil diciptakan. Kendatipun bentuknya sangat sederhana, dengan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Walau di masa lalu, sebelum agama Islam masuk, di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau masih banyak didapati kesesatan, yang tidak sesuai dengan syari’at agama Islam itu.
Kepercayaan itu adalah fungsi jiwa manusia. Majunya ilmu pengetahuan, telah pula menyebabkan perubahan-perubahan terhadap jiwa manusia yang kompleks, ikt pula mengubah konsepsi manusia terhadap Tuhannya. Namun, adalah satu keniscayaan bahwa, konsepsi kehidupan manusia tergantung pada alat-alat yang ada pada manusia itu sendiri.
Pada masyarakat Minangkabau, fungsi jiwa dibangun oleh kepercayaan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa, Yang Esa lagi Gaib, tampak jelas dalam setiap aspek kehidupan kebudayannya dan riak kehidupan sastranya.
Sifat umum masyarakat tradisional Minangkabau di masa ini masih terasa, dan sukar untuk melepaskan kepercayaan dalam kehidupan tradisi mereka. Terdapat keinginan untuk menyimpan dan memeliharanya yang dalam hal ini tidak terkecuali hasil-hasil sastra Minangkabau sendiri. Hal ini juga dirasa kebenarannya dalam pendapat Moh.Hatta, Wakil Presiden RI pertama menyatakan, "… Pada dasarnya manusia itu bersifat konservatif. Sukar melepaskan perhiasan hidup lama, ingin menyimpan pusaka lama. Di antara pusaka lama itu, banyak di antara kita yang ingin memeliharanya dalam keasliannya".
Pengukuhan adat bersendi syariat menjadi sangat penting. Jika hal ini dapat tetap ujud dan terpelihara baik, maka akan banyak manfdaatnya, dan telah turut menyalurkan nilai-nilai yang berharga dari satu budaya daerah, hasil masa lampau ke dalam kebudayaan Indonesia modern, sebagai telah dianjurkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana.
Menggali khazanah kebudayaan lama Minangkabau, yang banyak tersimpan di dalam bahasa lisan, serta dan menaikkannya ke atas permukaan kehidupan, menjadi bahasa tulisan, niscaya akan memberi sumbangan besar di dalam memupuk kebudayaan nasional, sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Untuk melakukan kompilasi dari nilai-nilai pusaka Minangkabau yang menjadi mutiara kehidupan berbudaya dengan adat bersendi syari’at, perlu dilakukan observasi mengenai pidato-pidato adat dan petuah orang tua-tua, yang diucapkan dalam upacara-upacara kekeluargaan masyarakat di Minangkabau.
Selain dari observasi yang dipertajam untuk menapak Minangkabau yang kuat di masa depan, keharusan pula adanya penelitian historis, terutama diarahkan kepada penyelidikan bentuk-bentuk sastra lisan yang banyak terdapat dalam kehidupan masyrakat Minangkabau, seperti pidato-pidato adat yang masih dihayati dalam kehidupan nyata. Cara inilah yang tersukar dalam pelaksanaannya. Namun, upaya ini akan terasa mudah dengan adanya modal pertautan rasa antara kehidupan beradat dalam bimbingan agama Islam.
Memang amat sukar untuk menentukan berapa jumlah pendukung kesusastraan lisan Minangkabau itu. Berapa banyak yang masih tersisa di dalam khazanah golongan terkemuka dalam adat atau penghlu (ninik mamak), dan berapa banyak pula yang sudah diidentifikasi kembali oleh golongan cerdik pandai, suluah bendang di nagari, atau mereka yang dapat dianggap mengetahui bentuk-bentuk kesusastraan lisan itu.
Berlakunya adaik istiadat nan salingka nagari, telah memberi warna perlakuan peribadi dan masyarakatnya, di dalam berinteraksi sesama. Adat istiadat yang menjadi kebiasaan pada setiap nagari dan luhak, menjadi kekayaan amat berharga.
Praktek perilaku yang disebutkan di dalam pidato dan petatah-petitih adat di tengah kehidupan masyarakat di Minangkabau, terutama di desa-desa, saat ini masih menjaga nilai-nilai utama yang luhur.
Perilaku berbudaya dan berakhlak masih dihayati dalam keseharian mereka, disebabkan tetap berlakunya ketentuan syariat agama Islam dengan kuat. Dan terjaganya dengan baik fungsi-fungsi urang ampek jinih dalam lingkungan kekerabatan di nagari-nagari.
Faktor penghayatan lahiriah dalam melaksanakan adat bersendi syariat, akan lebih banyak berbicara daripada konsep-konsep yang bersifat teoritis. Kearah ini kompilasi harus mengarah.

Reposisi Peran Dan Fungsi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Bagi Masyarakat Nagari Dewa

PATUT SEKALI KITA BERSYUKUR, bahwa nikmat Allah yang kita peroleh sebagai bagian dari hasil perjuangan dan pengisian kemerdekaan bangsa kita, dapat kita rasakan, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Semuanya kita peroleh tidak dengan cuma‑cuma, tetapi melalui pengorbanan dan ketekunan sambung bersambung. Keterpaduan hati, tekad dan langkah, sangat banyak memberi­kan kontribusi dari apa yang kita peroleh hari ini. Kita memiliki lebih banyak kesem­patan untuk bergerak lebih leluasa dan bertanggung jawab. Di daerah kita Sumatera Barat kita merasakan keterbu­kaan dalam bentuk lain.

Di Abad ini, telah terjadi lonjakan perubahan dengan cara cepat, transparan, dan bumi terasa sempit seakan tak ada sekat (batas). Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi telah menjadikan satu sama lain menjadi dekat. Kita, masyarakat Sumatera Barat, amatlah bersyukur kepada Allah, atas rahmat yang besar dengan nilai-nilai tamadun budaya Minangkabau yang terikat kuat dengan penghayatan Islam, dan terbukti pada masa yang panjang dizaman silam menjadi salah satu puncak kebudayaan dunia. Namun, tersebab kelengahan dan terpesona kepada budaya lain diluar kita, dan derasnya penetrasi budaya luar (asing), kita pun mengalami situasi seakan membakar obat nyamuk. Lapis luar pertama berangsur punah terbakar dan api beringsut secara pasti menuju tengah lingkaran dan dalam. Bila dibiarkan berlalu, rela ataupun tidak, akhirnya yang tinggal abu semata.
Desa‑desa yang tadi hanya dilalui oleh kuda‑kuda berkaki empat, sekarang sudah mulai dimasuki kendaraan beroda empat. Daerah sulit dijangkau berjalan kaki, sekarang sudah dapat didatangi suzuki. Pedati pun sudah pula diganti dengan gerobak Jepang. Bagaimana kehidupan masyarakat di desa‑desa ‑‑ yang tadinya terisolir, atau tertinggal, dan nyatanya sekarang seluruh atau sebagian isolasi itu setelah di buka dan menjadi sentra dari perkebunan‑perkebunan besar (seperti Pasaman, Sitiung dan Solok Selatan) ???
Hubungan pemuda‑pemudi kita tidak hanya tersungkup oleh kehidupan kampung, tapi sudah bisa meniru kekiri kanan. Mereka mulai berbuka-bukaan meniru segala perubahan hampir‑hampir tidak punya batas. Hubungan kekerabatan dalam keluarga mulai menipis. Peran ninik mamak masih terlihat hanya dalam batas‑batas seremonial. Peran da'i dan khatib dinagari mulai terbatasi sekedar pengisi ceramah, khutbah Jum'at, atau mengaji di Masjid dan menjadi sangat perlu dan dicari kalau-kalau ada yang lahir dan mati. Kedu­dukan orang tua, hanya menyediakan serba kebutuhan fisik dan materi.
Guru‑guru disekolah punya tugas mengajar, peran pendidikan menjadi kabur dan melemah. Kondisi beginilah sebenarnya yang sangat rawan dalam meniti abad ke duapuluh satu ini. Karena itu kita sangat di tuntut untuk membentuk pribadi‑ pribadi yang utuh dan unggul dengan iman dan taqwa, berlimu pengetahuan dan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, ber‑moral akhlak, ber‑adat dan ber‑agama.

PERPADUAN ADAT DAN SYARAK
Firman Allah menyatakan, “ Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).
Nabi Muhammad SAW memesankan bahwa “Perbedaan ditengah-tengah umatku adalah rahmat” (Al Hadist). Dan sebuah lagi, “innaz-zaman qad istadara”, bahwa sesungguhnya zaman berubah masa berganti (Al Hadist).
Untaian kata hikmah di Minangkabau mengungkapkan “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko hiduik”. Akan tetapi selama 21 tahun, telah terjadi banyak perubahan, dan kita tidak boleh berbeda terutama terhadap sistim pemerintahan local yang khas -- Nagari di Minangkabau – menjadi segaram, dengan diberlakukannya UU No.5 tahun 1979.
Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran,

1. “Mengutamakan prinsip hidup keseimbangan.” Ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Hukum Islam menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan perkembangan jasmani ; "Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara" (Hadist). Keseimbangan jelas tampak dalam mementaskan kemakmuran di ranah ini, “Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang. "Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya" (Hadist).

2. “Kesadaran kepada bagaimana luasnya bumi Allah.”. Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan". (QS.62, Al Jumu’ah : 10). Supaya jangan tetap tinggal terkurung dalam lingkungan yang kecil, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97). Karatau madang dihulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu dirumah paguno balun. *1
Dalam membina umat di nagari yang dicari adalah “opsir lapangan” yang bersedia dan pandai berkecimpung di tengah‑tengah umat. Selain ilmuan, sarjana berpengalaman, sangat diperlukan mata yang “mahir membaca masyarakat”. Kemahiran membaca “kitab masyarakat” acap kali tidak dapat diperoleh dalam ruang kuliah dan perpustakaan semata. Maka perlu meng-introdusir tenaga sarjana agama kita kembali ketengah masyarakatnya di nagari-nagari, dengan usaha sedemikian itu, akan dapat dirasakan denyut nadi kehidupan umat, dan lambat laun akan berurat pada hati umat itu.

TATA RUANG
Nagari tumbuh dengan konsep tata ruang yang jelas. Ba-balerong (balai adat) tempat musyawarah, ba-surau (musajik) tempat beribadah, ba-gelanggang lapangan tempat rang mudo bermain, ba-tapian tempat mandi, ba-pandam pekuburan, ba-sawah bapamatang, ba-ladang babintalak, ba-korong bakampung, sesuai dengan istilah-istilah yang lazim dan mungkin berbeda penyebutannya pada setiap nagari.
Konsep tata-ruang ini adalah salah satu asset yang sangat berharga dalam nagari dan menjadi idealisme nilai budaya di Minangkabau. Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak.
Tata ruang dalam masyarakat yang jelas itu memberikan posisi kepada peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari.
Pemeran itu telah disepakati terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak *2, alim ulama*3, cerdik pandai*4, urang mudo*5, bundo kanduang*6).Dengan demikian, terlihat bahwa nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas pengertian ulayat hukum adat namun yang lebih mengedepan dan paling utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat didalam nagari itu yang mempunyai keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani. “Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tango”.
Sikap hidup (attitude towards life) yang demikian, tak dapat tidak merupakan sumber dorongan bagi kegiatan penganutnya, juga di bidang ekonomi, yang bertujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs semata, tetapi mau bekerja dengan sikap tawakkal dengan bekerja dan tidak boros*7. . Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari dan kepada tingkat kecerdasan yang telah dicapai.

KEMBALI KENAGARI
Kembali ke Nagari semestinya lebih dititik beratkan kepada kembali banagari.
Perubahan cepat yang sedang terjadi, apakah karena sebab derasnya gelombang arus globalisasi, atau penetrasi budaya luar (asing) telah membawa akibat bahwa perilaku masyarakat, praktek pemerintahan, pengelolaan wilayah dan asset, serta perkembangan norma dan adat istiadat di banyak nagari di Sumatera Barat mulai tertinggalkan.
Perubahan perilaku tersebut tampak dari lebih mengedepannya perebutan prestise yang berbalut materialistis dan individualis. Akibatnya, perilaku yang kerap tersua adalah kepentingan bersama dan masyarakat sering di abaikan. Menyikapi perubahan-perubahan sedemikian itu, acapkali idealisme kebudayaan Minangkabau menjadi sasaran cercaan. Indikasinya terlihat sangat pada setiap upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif dan bermasyarakat) menjadi kurang diacuhkan dibanding pencapaian hasil perorangan (individual).
Sebenarnya, nagari dalam daerah Minangkabau (Sumatera Barat) seakan sebuah republik kecil. Mini Republik ini memiliki sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri.
Semestinya dipahami bahwa kembali kenagari tentu bukanlah kembali kepada pemerintahan nagari dizaman penjajahan, yang dalam banyak hal mungkin tidak sesuai dengan alam kemerdekaan dan reformasi.*8

Kembali kenagari haruslah bermula dengan kesediaan untuk rujuk kepada hukum adat (norma yang berlaku di nagari) dan kesetiaan melaksanakan hukum positf (undang-undang negara).
Muara pertama terdapat pada supra struktur pemerintahan nagari, dimana kepala pemerintahan negari (kepala negari) akan berperan sebagai kepala pemerintahan di nagari dan juga pimpinan adat. Sebagai kepala pemerintahan terendah dinagari memiliki hirarki yang jelas dengan pemerintahan diatasnya (kecamatan atau kabupaten). Sebagai kepala adat harus berurat kebawah yakni berada ditengah komunitas dan pemahaman serta perilaku adat istiadat yang dijunjung tinggi anak nagari (adat salingka nagari). Minangkabau tetap bersatu, tetapi tidak bisa disatukan.
Muara kedua, dukungan masyarakat adat (kesepakatan tungku tigo sajarangan yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan kalangan rang mudo), dan mendapat dukungan dalam satu tatanan sistim pemerintahan (perundang-undangan). Anak nagari sangat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya. Konsepnya tumbuh dari akar nagari itu sendiri, bukanlah suatu pemberian dari luar. Lah masak padi 'rang singkarak, masaknyo batangkai-tangkai, satangkai jarang nan mudo, kabek sabalik buhus sintak, Jaranglah urang nan ma-ungkai, Tibo nan punyo rarak sajo. Artinya diperlukan orang-orang yang ahli dibidangnya untuk menatap setiap perubahan peradaban yang tengah berlaku. Hal ini perlu dipahami supaya jangan tersua seperti kata orang “ibarat mengajar kuda memakan dedak”.
Masyarakat nagari sesungguhnya tidak terdiri dari satu keturunan (suku) saja tetapi terdiri dari beberapa suku yang pada asal muasalnya berdatangan dari berbagai daerah asal di sekeliling ranah bundo. *9
Yang datang dihargai dan masyarakat yang menanti sangat pula di hormati. dima bumi di pijak, di sinan langik di junjuang, di situ adaik bapakai. Disini tampak satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi, sebagai prinsip egaliter di Minangkabau.
Kalau bisa dipertajam, inilah prinsip demokrasi yang murni dan otoritas masyarakat yang sangat independen. Langkah Penting adalah,

1. Menguasai informasi substansial
2. Mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment
3. Memperkuat kesatuan dan Persatuan di nagari-nagari
4. Muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri.

Tugas kembali kenagari, sesungguhnya adalah, menggali kembali potensi dan asset nagari. Bila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari itu. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari. Kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing, untuk kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan, dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. *10
Diperlukan kerja keras, untuk Meningkatkan Mutu SDM anak nagari melalui kerja keras dalam rangkaian,
Penguatan (pemerkasaan) potensi yang sudah ada melalui program utama, menumbuhkan SDM Negari yang sehat dengan gizi cukup, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama terapan), mengokohkan pemahaman agama, sehingga anak negari menjadi sehat rohani, menjaga terlaksananya dengan baik norma-norma adat, sehingga anak nagari menjadi masyarakat beradat yang beragama (Islam). Menggali potensi SDA yang ada di nagari, yang diselaraskan dengan perkembangan global yang tengah berlaku, Memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. Membangun kesejahteraan bertitik tolak pada pembinaan unsur manusianya. Dari self help (menolong diri sendiri) kepada mutual help, tolong-menolong, sebagai puncak budaya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Dalam rangka pembagian pekerjaan, ber-ta'awun sesuai dengan anjuran Islam, "Bantu membantu, ta'awun, mutual help dalam rangka pembagian pekerjaan (division of labour) menurut keahlian masing-masing ini, akan mempercepat proses produksi, dan mempertinggi mutu, yang dihasilkan. Itulah taraf ihsan yang hendak di capai. Memperindah nagari dengan menumbuhkan percontohan-percontohan di nagari, yang tidak hanya bercirikan ekonomi tetapi indikator lebih utama kepada moral adat “nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”. Mengefisienkan organisasi pemerintahan nagari dengan reposisi (dudukkan kembali komponen masyarakat pada posisinya sebagai subyek di nagari) dan refungsionisasi (pemeranan fungsi-fungsi elemen masyarakat). *11

ULAMA MINANGKABAU MENUJU PEMERINTAHAN NAGARI
Yang mesti dikembangkan di nagari-nagari adalah "hidup modern dan maju dengan keimanan yang kokoh". Disinilah peran alim ulama ninik mamak dan pemimpin formal dan informal membentuk kader‑ kader terarah yang selektif dengan misi dakwah membangun negeri.
Di abad‑abad mendatang, Sumatera Barat harus menjadi tempat berkembangnya industri menengah, kalau kita mau membaca gambaran berkembang­nya usaha‑usaha perkebunan besar di ulayat Ranah Bundo ini. Dengan sendirinya, diperlukan tenaga kerja yang terampil, dan ahli dalam "mangakok" kerja‑kerja itu. Untuk itu diperlu­kan sumber daya manusia yang mampu mempertemukan otak dan otot. Konsekwensi dari keadaan ini, penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi pekerjaan rumah. Tentu mendesak pula akan adanya program pelatihan keterampilan, yang khusus‑khusus yang diperlukan oleh bidang‑bidang yang membutuhkan, sebelum kesempatan itu di isi oleh tenaga‑tenaga lainnya, dari luar. Disinilah kita memerlukan segera melaksanakan social reform. Bila tidak, kondisi ini juga akan mengundang kerawanan sosial, apalagi bila penduduk desa-desa yang menjadi sentra perkebunan besar di Sumatera Barat ini tidak berkemampuan dalam mengantisipasi dampak besar yang akan timbul, dan tidak pula memiliki kesiapan menerima abad Duapuluh Satu.
Perubahan zaman dalam kemajuan teknologi maklumat (globalisasi informasi dan komunikasi), telah membawa berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat. Tuntutan zaman terus bergulir, sebagai bagian dari “Sunnatullah”. *12
Memang sangat memilukan sekali bahwa rakyat kecil itu pula dimasa derasnya arus globalisasi ini senantiasa dijadikan sasaran empuk. Karena ketiadaan juga rupanya mereka menjadi kafir. Tantangan di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya penghayatan agama paling terasa di berapa medan dakwah dan daerah terpencil, berbentuk gerakan salibiyah dan bahaya pemurtadan. Ditengah perkotaan berkembang upaya pendangkalan agama dan keyakinan seiring dengan menipisnya pengamalan agama serta pula bertumbuhnya penyakit masyarakat (tuak, arak, judi, dadah, pergaulan bebas dikalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindakan kriminal dan anarkis) dan semuanya tidak dapat dibantah telah mengarah kepada dekadensi moral.
Pengendali kemajuan sebenar adalah agama dan budaya umat (umatisasi). *13
Bagi masyarakat Barat tercerabutnya agama dari diri masyarakat tidak banyak pengaruh pada kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Akan lainlah halnya bila tercerabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), tercerabutnya agama dari budaya mereka akan berakibat besar kepada perubahan prilaku dan tatanan masyarakatnya.
Penyebabnya hanya sebuah, yaitu masyarakat beradat dengan “adatnya bersendi syarak, syaraknya bersendi kitabullah” dan “syarak (=agama) mangato (=memerintahkan) maka adat mamakai (=melaksanakan)”.
Sungguh suatu kecemasan ada didepan kita, bahwa sebahagian generasi yang bangkit kurang menyadari tempat berpijak. Dalam hubungan ini diperlukan penyatuan gerak langkah.
Kelemahan mendasar ditemui pada melemahnya jati diri karena kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa. Dipertajam lagi oleh tindakan isolasi diri dan kurang menguasai politik, ekonomi, sosial budaya, lemahnya minat menuntut ilmu, yang menutup peluang untuk berperan serta dalam kesejagatan. *14
Semakin parah karena adanya pihak-pihak agama lain yang memulai sarana dakwahnya dengan uluran tangan pemberian. Sementara juru dakwah jangankan memberi untuk hidup pun kadang-kadang susah.
Pemantapan tamaddun, agama dan adat budaya didalam tatanan kehidupan menjadi landasan dasar pengkaderan re-generasi, dengan menanamkan kearifan dan keyakinan bahwa apa yang ada sekarang akan menjadi milik generasi mendatang. Konsekwensinya, kita memikul beban kewajiban memelihara dan menjaga warisan kepada generasi pengganti, secara lebih baik dan lebih sempurna agar supaya dapat berlangsung proses timbang terima kepemimpinan secara estafetta alamiah, antara pemimpin yang akan pergi dan yang akan menyambung, dalam suatu proses patah tumbuh hilang berganti. Kesudahannya yang dapat mencetuskan api adalah batu pemantik api juga. *15
Dinagari kita di Minangkabau semestinya ditanamkan komitmen fungsional bermutu tinggi. Memiliki kemampuan penyatuan konsep-konsep, alokasi sumber dana, perencanaan kerja secara komprehensif, mendorong terbinanya center of excelences. Pada ujungnya, tentulah tidak dapat ditolak suatu realita objektif bahwa, “Siapa yang paling banyak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat, pastilah akan berpeluang banyak untuk mengatur masyarakat itu.”
Rusaknya dakwah dalam pengalaman selama ini karena melaksanakan pesan sponsor diluar ketentuan wahyu agama.
Kemunduran dakwah selalu dibarengi oleh kelemahan klasik kekurangan dana, tenaga, dan hilangnya kebebasan gerak. Akibatnya masyarakat mati jiwa.
Masyarakat yang mati jiwa akan sulit diajak berpartisipasi dan akan kehilangan semangat kolektifitas.
Bahaya akan menimpa tatkala jiwa umat mati di tangan pemimpin. Tugas ulama menghidupkan umat. Jangan dibiarkan umat digenggam oleh pemimpin otoriter dengan meninggalkan prinsip musyawarah. Hal tersebut akan sama dengan menyerahkan mayat ketangan orang yang memandikannya. Karena itu, hidupkan lembaga dakwah sebagai institusi penting dalam masyarakat.
Problematika pembinaan Agama di nagari
Secara umum perkembangan masyarakat nagari diabad ini mengalami pergeseran pula, “masyarakat di datangi dakwah dan tidak lagi mendatangi dakwah.”. Pada beberapa daerah tampak dengan kurangnya minat orang tua menyerahkan anak-anaknya ke Pendidikan-pendidikan Islam (Surau, majelis ta’lim, TPA, MDA, bahkan pengajian-pengajian Al-Qur’an). Kebiasaan meminum minuman keras (Miras) dikalangan muda/remaja, berkembangnya pergaulan bebas (diluar batas-batas adat dan agama) mulai tumbuh merajalela.
Peranan ulama Minangkabau sejak dulu adalah membawa umat, melalui informasi dan aktifiti, kepada keadaan yang lebih baik, Kokoh dengan prinsip, qanaah dan istiqamah. Berkualitas, dengan iman dan hikmah. Ber-‘ilmu dan matang dengan visi dan misi. Amar makruf nahyun ‘anil munkar dengan teguh dan professional. Research-oriented dengan berteraskan iman dan bertelekankan tongkat ilmu pengetahuan.
Peran dan perjuangan para ulama dalam membina nagari hari ini seringkali tidak terikuti oleh pembinaan yang intensif, disebabkan :
Kurangnya tenaga da’I, tuangku, ulama yang berpengalaman, berkurangnya jumlah mereka di daerah-daerah (karena perpindahan ke kota dan kurangnya minat menjadi da’i .
Terabaikannya kesejahteraan da’i secara materil yang tidak seimbang dengan tuntutan yang diharapkan oleh masyarakat dari seorang da’i .
Jauhnya daerah-daerah yang harus didatangi oleh juru dakwah sementara tidak tersedianya alat transportasi.
Sering ditemui transport umum sewaktu-waktu ke daerah-daerah binaan dakwah jarang pula tersedia.
Umumnya juru dakwah bukanlah pegawai negeri yang memiliki penghasilan bulanan yang tetap, akan tetapi senantiasa dituntut oleh tugasnya untuk selalu berada ditengah umat yang dibinanya.
Mengembalikan Minangkabau keakarnya ya’ni Islam tidak boleh dibiar terlalai. Karena akibatnya akan terlahir bencana. Acap kali kita di abaikan oleh dorongan hendak menghidupkan toleransi padahal tasamuh itu memiliki batas-batas tertentu pula. Amatlah penting untuk mempersiapkan generasi umat yang mempunyai bekalan mengenali keadaan masyarakat binaan, aspek geografi, demografi,, sejarah, latar belakang masyarakat, kondisi sosial, ekonomi, tamadun, budaya,dan adat-istiadat berbudi bahasa yang baik.

KHULASAH
Memerankan kembali organisasi informal, refungsionisasi peran alim ulama cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari” yang andal sebagai alat perjuangan dengan sistem komunikasi dan koor­dinasi antar organisasi di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan organisasi non‑formal secara jelas.
Dalam gerak “membangun nagari” maka setiap fungsionaris di nagari akan menjadi pengikat umat untuk membentuk jamaah (masyarakat) yang lebih kuat, se­hingga merupakan kekuatan sosial yang efektif.
Nagari semestinya berperan pula menjadi media pengembangan dan pemasyarakatan budaya Islami sesuai dengan adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah melalui efektifitas media pendidikan dalam pembinaan umat untuk mencapai derajat pribadi taqwa, serta merencanakan dan melaksanakan kegiatan dakwah Islamiyah.
Di nagari mestilah di lahirkan media pengembangan minat mengenai aspek kehidupan tertentu, ekonomi, sosial, budaya, dan politik dalam rangka mengembangkan tujuan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera.
Terakhir tentulah merupakan keharusan untuk dikembangkan dakwah yang sejuk, dakwah Rasulullah SAW dengan bil ihsan.
a. Prinsipnya jelas, tidak campur aduk (laa talbisul haq bil bathil).
b. Integrated , menyatu antara pemahaman dunia untuk akhirat, keduanya tidak boleh dipisah-pisah.
c. Belajar kepada sejarah, dan amatlah perlunya gerak dakwah yang terjalin dengan net work (ta’awunik) yang rapi (bin-nidzam), untuk penyadaran kembali (re-awakening) generasi Islam tentang peran Islam membentuk tatanan dunia yang baik. Insya Allah.

Spiritnya adalah;
1. Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah “Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito.”
2. Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) atau “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang”. Basalang tenggang, artinya saling meringankan dengan kesediaan memberikan pinjaman atau dukungan terhadap kehidupan dan “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.
3. Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak berarti berpindah tempat misalnnya anjak an buku tu berarti pindahkan buku itu.Anjak juga bisa disebut asak....(sinonim)', CAPTION, 'anjak',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();">anjak, Barubah ba-sapo”.
4. Keimanan yang kuat kepada Allah SWT sebagai pengikat spirit tersebut dengan menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak.
5. Mengenal alam keliling “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ”.*16
6. Kecintaan kenagari menjadi perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah . *17
7. Menjaga batas-batas patut dan pantas, jangan terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak.
Begitulah semestinya peranan alim ulama dan lembaga-lembaga dakwah dinagari-nagari yang ditata secara rapi dalam menapak alaf baru. Insya Allah. v

Footnotes:

1. Ditanamkan pentingnya kehati-hatian “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”. Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat walau dengan memakai cara yang amat sederhana sekalipun adalah "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, "Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta". (Hadist). Diperingatkan bahwa membiarkan diri hidup dalam kemiskinan dengan tidak berusaha adalah salah , "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)" (Hadist).

2. Penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninik mamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.

3. Bisa juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam. Gelaran ini lebih menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari).

4. Bisa saja terdiri dari anak nagari yang menjabat jabatan pemerintahan, para ilmuan, perguruan tinggi, hartawan, dermawan.

5. Para remaja, angkatan muda, yang dijuluki dengan nan capek kaki ringan tangan, nan ka disuruah di sarayo.

6. Kalangan ibu-ibu, yang sesungguhnya ditangan mereka terletak garis keturunan dalam sistim matrilinineal dan masih berlaku hingga saat ini.

7. Tawakkal, bukan "hanya menyerahkan nasib" dengan tidak berbuat apa-apa, "Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal" (Atsar dari Shahabat). Tak ada kebun tempat bertanam, tak ada pasar tempat berdagang. Tak kurang, setiap pagi terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore kembali dalam keadaan "kenyang". Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan. “Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada. Bila mengerjakan sesuatu tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

8. Kepala Pemerintahan Nagari (angku palo) dimasa penjajahan tidak jarang telah menjadi ujung tombak kekuasaan penjajah untuk menekan anak nagari. Bahkan sering pula terjadi bahwa kapala negari yang bersandar dengan besluit gubernemen disalah gunakan untuk kepentingan kekuasaan semata, maka akan terjadi sistim memerintah otoriter tanpa mengindahkan peran lembaga kerapatan negari (tungku tigo sajarangan). Lebih parah lagi kalau Kapalo Nagari adalah jabatan turun temurun yang diterima dan mesti berjalan, walaupun masyarakat nagari tidak berkenan menerimanya. Hal tersebut akan berdampak dikebirinya prinsip musyawarah (demokrasi), yang pada dasarnya prinsip musyawarah adalah pondasi mendasar dan utama dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

9. Sungguhpun berbeda, namun mereka dapat bersatu dalam satu kaedah hinggok mancangkam tabang basitumpu atau hinggok mencari suku dan tabang mencari ibu. Hiyu bali balanak bali, ikan panjang bali dahulu. Ibu cari dunsanak cari, induak samang cari dahulu.

10. Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja. Dek sakato mangkonyo ado, Dek sakutu mangkonyo maju, Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi. Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tetangga secara selfless help, dengan memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharapkan balas jasa. "Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi". (Q.S. Al Lail, 19 - 20). Walaupun didepan terpampang kendala-kendala, namun optimisme banagari mesti selalu dipelihara. alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik.

11. Memperkuat SDM bertujuan membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas yang tidak dapat ditolak dalam kembali kenagari dalam satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam iklim adat basandi syara' syara' basandi Kitabullah, "Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah berbuat baik terhadapmu sendiri (yakni berbuat baik tanpa harapkan balasan). (QS.28, Al Qashash : 77). Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan "nawaitu" dalam diri masing-masing. Untuk membina umat dalam masyarakat desa harus di ketahui pula kekuatan. Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo, Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo.

12. Karena ketiadaan pula mereka menjadi umpan dari satu perubahan berbalut westernisasi. Karena ketiadaan ilmu, dan bekalan iman jua agaknya mereka menjadi rapuh, dan terhempas di lamun ombak pemurtadan. Acap kali mereka, umat kita tersasar, sesat jalan, hanya karena kurangnya pemahaman terhadap agama. Karena ketiadaan. Itulah penyebabnya. Arus globalisasi yang bergerak deras itu telah menggeser pula pola hidup masyarakat dibidang ekonomi, perniagaan atau pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. Kehidupan sosial berteras kebersamaan bergeser menjadi individualis dan konsumeritis. Masing-masing berjuang memelihara kepentingan sendiri-sendiri, bernafsi-nafsi dan condong kepada melupakan nasib orang lain. Persaingan bebas tanpa kawalan akan bergerak kepada “yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan mati sendiri”, dan yang kuat akan menelan yang lemah di antara mereka".

13. ‘alaikum anfusakum, laa yadhurrukum man dhalla idzah-tadaitum (QS.5:105), wa man yusyrik billahi fa qad dhalla dhalaalan ba’idan (QS.4:116), fa dzalikumullahu rabbukumul-haqqu, fa madza ba’dal-haqqi illadh-dhalaal ? fa anna tushrafuun (QS.10, Yunus:32).

14. Lihat QS.9:122, supaya mendalami ilmu pengetahuan dan menyampaikan peringatan kepada umat supaya bisa menjaga diri (antisipatif).

15. Q.S 47;7, artinya, '' Jika Kamu Menolong ( Agama ) Allah, Niscaya Dia Akan Meno­long Kamu. Kemudian, "Kamu Hanya Akan Dapat Pertolongan Dari Allah Dengan (Menolong) Kaum Yang Lemah Diantara Kamu". (Al-Hadist).Suatu aturan menuruti Sunnah Rasul adalah, “Dan, Tiap‑Tiap Kamu Adalah Pemimpin, Dan Tiap‑Tiap Pemimpin Akan Di Minta Pertanggungan Jawab Atas Pimpinannya" (Al-Hadist). Jadinya, kewajiban kepemimpinan menjadi tanggung jawab setiap orang.

16. Alam ditengah-tengah mana manusia berada ini, tidak diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sia-sia. Di dalamnya terkandung faedah-faedah kekuatan, dan khasiat-khasiat yang diperlukan untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmani manusia. Manusia diharuskan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu, menikmatinya, sambil mensyukurinya, dan beribadah kepada Ilahi.

17. Bukti kecintaan kenagari ini banyak terbaca dalam ungkapan-ungkapan pepatah hujan ameh dirantau urang hujang batu dinagari awak, tatungkuik samo makan tanah tatilantang samo mahiruik ambun.

Kamis, 20 November 2008

Meminang Minangkabau yang Mulai Membatu

Melihat dan memahami Minangkabau dari Indonesia. Topik semacam itu dapat terjadi dan berlaku di mana saja, di setiap daerah di Indonesia. Muara dari persoalan itu adalah sebuah persoalan identitas: mempertanyakan sekaligus menafikan.

Mempertanyakan, karena tiba-tiba kita, juga siapapun, seperti kehilangan pijakan, kehilangan asal-usul atau identitas aslinya, sementara itu identitas yang baru masih belum (sulit) didapatkan.

Menafikan, karena seiring dengan irama zaman yang terus bergulir, maka perubahan menjadi keniscayaan. Karena itu identitas baru menjadi godaan, dan terus menghadang untuk segera diraih. Dalam kondisi sepeti itu bukan tak mungkin yang terjadi adalah kebimbangan, limbung bahkan mungkin kehilangan orientasi.

Darvies Rasjidin, pelukis kelahiran Solok, Sumatera Barat, 15 Oktober 1948, yang sejak akhir tahun 1998 lalu memutuskan untuk tinggal dan menetap di Yogyakarta, tampaknya, dalam proses kreatifnya berada dalam ketegangan eksistensial semacam itu mempertanyakan Minangkabau, yang secara historis menjadi basis di wilayah kurturalnya, namun sekaligus menafikannya.

Memepertanyakan, karena ternyata banyak sisi yang tak ia pahami, dan hilang dari kebiasaan dan keseharian di lingkungannya. Juga karena semakin rancunya eksistensi budaya Minang; tak ada garis demarkasi yang memisahkan mana mitos, mana legenda, dan mana sejarah. Akibatnya terjadi silang sengkarut. Maka Darvies menafikannya, karena memang is tak dapat lagi membelanya.

Apa boleh buat.

ImageLantas apakah yang menjadi pilihan Darvies?Barangkali Minangkabau dalam dunia gagasannya menjadi semacam artefak. Ia mengabadikannya menjadi semacam artefak yang retak-retak. Lalu dari sana muncul ketegangan: antara eksotisme dan kerapuhan. Itulah nasib budaya tradisi di manapun. Tampak gemerlap dan memikat, sekaligus di bawah ancaman kerapuhan. Darvies seperti ingin meminang Minangkabau menjadi pengantinnya dalam dunia impiannya. Agar ia dapat terus berdekatan, bermesraan, mencintainya, sekaligus mengkritiknya dan mencubitnya.

inta Darvies pada Minangkabau bukanlah cinta buta. Sebaliknya adalah cinta yang kritis, atau setidaknya meragukan eksistensinya. Ia masih memeluknya, meski, seperti saya sebut sebelumnya, tak lagi dapat membelanya. Karena itulah sesungguhnya Darvies tak dapat menyembunyikan perasaannya yang pesimistik (atas budaya leluhurnya itu). Dan itulah sebenarnya kekuatan karya-karya lukisannya. Ia berbicara tentang Minang yang "terbakar" (terancam hangus), retak dan terkoyak ("Minangku", 1987). Ide-ide yang masih segaris, berkaitan dengan kehidupan tradisi yang mulai memudar, membatu, juga renta dan aus, tentang penari yang mulai tergusur di ambang kesepian ("Selawat Dulang", 1990, "Menanti Giliran", 1997), atau tentang legenda Gumarang dan Binuang yang tinggal kenangan dan menjadi aksesoris belaka ("Mimpi Gumarang dan Binuang",1998). Minangkabau -- juga kehidupan budaya dan tradisi di daerah manapun -- yang mulai renta, rapuh dan terdesak oleh sesuatu yang dianggap "baru". Darvies merekam semua itu. Meski rekaman (karya-karya) dengan warna-warna cemerlang, namun sesungguhnya menyimpan pesan yang muram.

arvies memutuskan untuk menetap di Yogyakarta (Sejak Nopember 1998) bkan tanpa pemicu. Semula, ia sesekali hanya berkunjung ke Yogya, kota dimana kawan-kawannya tingal dan meniti karir. Ia terus dibujuk-bujuk (sejak tahun 1980) oleh Risman Marah kawan "selapik seketidurannya" sejak bersekolah di SSRI Padang, untuk pindah saja ke Yogya ("di Yogya kau lebih mungkin mengembangkan karir kesenimananmu", bujuk Risman seperti dikenang Darvies). Ia tetap bilang "tidak", karena ingin bertahan di Padang, menhidupkan seni rupa di ranah Minang bersama kawan-kawannya.

Sampai akhirnya ia sedang berada di Yogya, bulan September 1999, ia menerima berita disusul undangan untuk menerima hadiah Anugerah Seni sebagai Perupa Terpilih dari Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Salinan keputusan tentang hal itu dari Dewan Juri juga sudah ia terima. Atas dorongan dan dukungan Risman Marah, Darvies dapat hadir pada resepsi penerimaan hadiah tersebut. Namun, di luar dugaannya, dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, ia tak mendapat panggilan ke pentas untuk menerima penghargaan itu. Ternyata, baru diketahui sesudahnya, bahwa Panitia Penyelenggara Anugerah Seni membatalkan keputusan Dewan Juri tanpa alasan yang jelas. "Bukan main malu saya, dan sungguh saya sangat jengkel, dan sangat kecewa", kata Darvies mengenang.

Sejak itu tawaran Risman Marah untuk tinggal di Yogya yang semula ditolak, langsung disambutnya. Ia bertekad bulat tinggal di Yogyakarta. Ia ingin melihat Padang, dan budaya Minangkabau dari Yogya, juga dari seluruh sisi Indonesia. Pameran tunggalnya kali ini, 20-28 Januari 2000 di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, disamping mewujudkan impian lama, juga bukti dari tekadnya itu. Adakah yang berubah dari karya-karya Darvies sejak itu? "Mari kita lihat bersama beberapa karya terbaru".

Satu hal yang tidak berubah dari karyanya, yaitu kesetiaannya menggunakan idiom Minang sebagai ikon. Namun dari segi muatan dan gagasannya, Darvies berusaha menangkap dan mengungkap berbagai persoalan manusia dan kemanusiaan dalam bingkai lebih luas. Maka disamping rumah-rumah gadang (yang renta dan retak) di seberang buih-buih lautan, gadis-gadis Minang dengan hiasan kepala yang menjulang, ia mengungkap persoalan-persoalan manusia yang aktual. Misalnya tentang hak-hak dan eksistensi perempuan yang ditekan ("Pengebirian", 1999), tentang drama dan tragedi kemanusiaan yang merenggut tanah rencong Aceh ("DOM", 1999, "Senndung Negeriku", 1999, "Setangkai Mawar dari Aceh").

Karya-karya Darvies lebih kaya dalam memainkan ikon; ingatan tentang Ranah Minang yang renta dan kesepian, beradu dengan persoalan-persoalan manusia keseharian. Manusia-manusia di kanvas Darvies adalah manusia-manusia yang mempertanyakan eksistensinya, sekaligus kesepian tanpa nyali. Teronggok bagai batu, dan memposisikan diri sebagai saksi atas segala perubahan yang terjadi. Posisi demikian itu seringkali justru terasa getir.
***
Berhasilkah Darvies meminang Minangkabau? melihat ketekunan dan kesuntukannya mengolah elemen-elemen Minang, tampaknya usaha meminang budaya tradisinya cukup kuat. Sisi lain yang menarik dari karya-karya Darvies adalah, bahwa tampak tak ada tendensi untuk merevitalisasi (seni) tradisi untuk kepentingan eksotisme dan artistik semata. Persoalannya adalah, bagaimana idiom-idiom lokal itu mampu dilemparkan ke permukaan seni rupa kita dan dapat memancing wacana. Yang dibutuhkan adalah kecerdasan mengolah lokalitas untuk menyampaikan persoalan-persoalan yang lebih luas, tentang hidup dan kehidupan, atau tentang manusia dan kemanusiaan. Itulah, saya kira, tema universal-mondial, yang abadi dan tetap menjadi muatan dan kekuatan yang menarik dalam karya seni, bahkan sepanjang masa.
Selamat berpameran, selamat tahun baru 2000, selamat memasuki abad baru, abad XXI, era millenium III, dengan penuh kreativitas, daya hidup, dan penuh kedamaian.